Haris, yang didakwa sebagai perantara sumbangan Rp 200 juta dari Syarif Usman ke Abu Bakar Ba'asyir, memberi judul pleidoinya "Maju Kena Mundur Kena". "Maju kena Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, mundur kena azab Allah," ujarnya.
Ia menganggap, perbuatan yang dilakukannya bukan sebagai bentuk terorisme, melainkan ibadah. Karena itu ia menyayangkan, jika seorang muslim seperti dirinya yang berniat menjalankan ibadah, justru diancam dengan rentetan pasal terorisme.
"Umat Islam hari ini dalam posisi maju kena mundur kena. Termasuk diri saya, mungkin juga hadirin sekalian. Ini memang dilematis. Tapi kita harus memilih, aturan dan hukum buatan Allah, atau buatan manusia?" ucapnya.
Haris menganggap, pihak yang menjeratnya dengan pasal pidana tertular karakter buruk Bani Israil, karena mengklasifikasi syariat, menjadi ibadah atau pun kejahatan. "Solat, zakat, haji, dianggap ibadah. Tapi infaq dianggap kejahatan," ujar Haris.
Padahal infaq, kata Haris, merupakan perintah Allah yang tertera dalam kitab suci. Kalau infaq dianggap kejahatan dan dikenakan pasal terorisme pada pelakunya, maka suatu saat sholat, zakat, dan ibadah lainnya, dianggap Haris berpeluang dilarang dan dicarikan pasalnya.
Di akhir pleidoi, Haris menyantumkan nama istri dan keempat anaknya. Ia pun berpesan kepada mereka, agar selalu ikhlas dan tabah, serta menjadi mujahid dan mujahidah seperti dirinya.
Haris dalam persidangan sebelumnya, 1 Maret 2011, dituntut sembilan tahun penjara oleh jaksa penuntut umum. Ia dinyatakan terlibat dalam aksi terorisme, karena memperantarai sumbangan Rp 200 juta dr.Syarif Usman kepada Ba'asyir. Diduga, duit itu digunakan untuk membiayai pelatihan militer di Bukit Jantho, Aceh Besar.
ISMA SAVITRI