TEMPO Interaktif, Jakarta - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai terdakwa kasus gratifikasi PT Salmah Arowana Lestari dan korupsi dana pengamanan Pemilihan Kepala Daerah Jawa Barat, Komisaris Jenderal Susno Duadji, layak mendapat keringanan hukuman.
“Kami berpendapat Susno adalah whistleblower (peniup peluit atau pengungkap kasus). Karena menurut apa yang kami telaah, beliau mengungkapkan peristiwa penting,” kata Lili Pintauli Siregar, anggota LPSK saat bersaksi untuk Susno di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (1/2).
Lili mengungkapkan, pada 4 Mei 2010 Susno mengajukan surat ke LPSK, untuk meminta perlindungan. Pada LPSK Susno mengatakan, ia dan keluarganya menerima teror menyusul pengakuan Susno soal mafia hukum di Kepolisian. Sepuluh hari kemudian, permohonan Susno dikabulkan LPSK.
Menurut Lili, sesuai pasal 10 ayat 1 UU PSK, seorang pelapor dalam hal ini Susno, sebenenarnya tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
Kondisi berubah karena pada 17 Mei 2010, Susno ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi. Pasal 10 ayat 2 UU PSK-lah yang akhirnya digunakan untuk Susno. “Terkait status pemohon sebagai saksi yang pada akhirnya menjadi tsk, maka perlindungan LPSK berdasar Pasal 10 ayat 2. Maka rewardnya pengurangan hukuman,” kata Lili.
Sampai saat ini, Lili menambahkan, Susno masih berstatus sebagai whistle blower yang dilindungi lembaganya. Dengan demikian, Susno berhak atas perlindungan fisik dan hukum. Namun karena Susno berstatus tahanan polisi, maka yang bisa dilakukan LPSK adalah memastikan mendapat keleluasaan untuk melihat kesehatan dan kenyamanan Susno di rumah tahanan Markas Komando Brigade Mobil, Kelapa Dua, Depok.
Sebelumnya, pihak Susno sudah mengajukan uji tafsir terhadap pasal 10 ayat 2 UU PSK ke Mahkamah Konstitusi. Menurut kuasa hukum Susno, pasal 10 ayat 2 tersebut ambigu dan merugikan whistle blower. Namun MK pada putusannya menyatakan menolak pendapat Susno.
ISMA SAVITRI