TEMPO Interaktif, Jakarta - Di ruang rawat penderita stroke Rumah Sakit Gleneagles Singapura, Syaukani Hasan Rais kini mengisi hari-harinya dengan aneka terapi. Setiap hari, setelah melakukan cek kondisi jantungnya, bekas Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, itu berendam air hangat.
Hasil terapi air hangat itu sungguh lumayan. Setidaknya Syaukani sudah bisa mengangkat tangannya yang lumpuh. "Kemajuan lainnya, ayah sudah bisa makan sendiri meski berceceran," kata Selvi Agustina, putri sulung Syaukani, kepada Tempo, Ahad lalu.
Itulah kondisi terakhir ketika Selvi menemui ayahnya saat hari libur Natal, Sabtu pekan lalu. Sejak diboyong ke Singapura, 18 November lalu, Syaukani mengalami banyak kemajuan. Jauh berbeda ketika masih di kampungnya, Tenggarong. "Sekarang tergantung terapi tiga bulan ini. Jika kemajuannya pesat, mungkin akan operasi saraf secara keseluruhan," Selvi menambahkan.
Syaukani alias Kaning masih berstatus terpidana korupsi saat dokter memvonisnya menderita post-stroke atau stroke global. Lebih dari setahun ia harus menghuni Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, sampai Presiden Yudhoyono memberinya pengampunan.
Saat pengampunan itu diberikan pada Agustus lalu, Syaukani, yang dihukum enam tahun penjara oleh Mahkamah Agung sejak 2008, baru menjalani separuh masa hukumannya. Dalam sejarah Republik, inilah grasi pertama dari Presiden untuk koruptor.
Gelombang protes dari aktivis antikorupsi pun bermunculan. Presiden dinilai tak serius memberantas korupsi. Pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi ikut pula mempersoalkannya. "Terus ngapain kami kerja keras kalau hasilnya diampuni," kata M. Jasin, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi.
Adalah KPK yang akhirnya membawa politikus Partai Golkar ini ke balik jeruji. Ditahan pada Maret 2007, Syaukani divonis 2,5 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Juli 2008, Mahkamah Agung memperberat hukumannya menjadi enam tahun.
Kaning dinyatakan terbukti bersalah dalam empat kasus korupsi. Di antaranya kasus dana perimbangan dengan dugaan kerugian negara Rp 93 miliar, kasus pembebasan lahan pembangunan Bandara Kutai dengan kerugian Rp 15,25 miliar, kasus korupsi dana proyek bandara dengan kerugian Rp 4,04 miliar, dan dana bantuan sosial dengan kerugian Rp 7,75 miliar.
Pemberian grasi untuk Syaukani terendus saat Kementerian Hukum dan HAM sedang disorot lantaran getol membagikan remisi bagi para koruptor dan narapidana. Kado pengurangan hukuman itu diberikan pada peringatan 17 Agustus lalu.
Dari 341 terpidana korupsi, 11 di antaranya langsung bebas karena sudah menjalani dua pertiga masa hukuman. Termasuk yang bebas adalah Aulia Pohan, eks Deputi Gubernur Bank Indonesia. Remisi yang membuatnya bebas bersyarat tak tanggung-tanggung: enam bulan lamanya.
Besan Yudhoyono itu terjerat kasus korupsi penyelewengan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia sebesar Rp 100 miliar pada 2003. Kasus ini juga menyeret kolega Aulia, yakni Maman Soemantri, Bun Bunan Hutapea, dan Aslim Tadjuddin. Agustus lalu, ketiganya juga bebas.
Diperiksa KPK pada Februari 2008, Aulia awalnya menjadi saksi kasus suap BI ke anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada 2003 untuk melicinkan proses pembahasan RUU BI. Dalam pemeriksaan terungkap bahwa keputusan pemakaian dana YPPI adalah keputusan kolegial. Aulia dan kawan-kawannya pun ditahan KPK pada November 2008.
Pengadilan menghukum Aulia dan Maman empat setengah tahun penjara. Adapun Bun Bunan dan Aslim hanya empat tahun. Aulia mengajukan permohonan banding. Pengadilan Tinggi mengkorting hukumannya jadi empat tahun. Di Mahkamah Agung, berkurang lagi setahun. Dan dua kali peringatan Hari Kemerdekaan, Aulia mendapat bonus pengurangan masing-masing tiga bulan.
Selain untuk Aulia, remisi bagi Pollycarpus Budihari Priyanto jadi sorotan. Agustus lalu, terpidana 20 tahun penjara karena pembunuhan aktivis Munir ini dikorting 7 bulan masa hukumannya. Ini bukan remisi pertama baginya. Penjara Sukamiskin beralasan, remisi diberikan karena Polly sering menjadi donor darah dan tokoh Pramuka selama di penjara.
Tak urung, para aktivis hak asasi berang. Menurut penggiat Kontras, Usman Hamid, jika setiap Agustus Pollycarpus mendapat remisi 7 bulan, dan setiap hari raya mendapatkan 3-5 bulan, artinya, dalam setahun ia mendapat remisi satu tahun.
"Jika berulang selama lima tahun, dipastikan hukuman tak lagi 20 tahun penjara. Artinya, dia tidak kapok dan dia tidak akan mau membuka aktor siapa pelaku pembunuhan Munir," ujar Usman.
Grasi Syaukani, bebasnya Aulia Pohan, hingga obral remisi pada tahun ini jadi potret buram penegakan keadilan sepanjang 2010. Kalangan DPR, aktivis antikorupsi, dan para cendekiawan menyatakan sikap pemerintah itu mencabik rasa keadilan publik.
Karena dianggap berkelakuan baik selama dibui, mereka melenggang lebih cepat ketimbang masa hukuman daripada vonis hakim. Padahal kerugian negara akibat ulah mereka sulit dipulihkan. "Bagaimana bisa, saat Indonesia getol memerangi korupsi, jika pemerintah memberikan hujan remisi," kata anggota Komisi Hukum DPR, Gayus Lumbuun, kala itu.
Menteri Hukum dan HAM Patrialis menangkis tudingan itu. Ia beralasan, pemberian remisi bagi besan Presiden sudah sesuai dengan aturan. "Jumlah yang sama juga diterima narapidana lain. Mereka sudah menjalani dua pertiga masa hukuman," katanya.
Soal grasi pun, Patrialis membantah jika dikatakan bahwa pemberiannya tanpa alasan. Menurut dia, itu semata karena kemanusiaan. Lagi pula, proses pengajuan grasi diusulkan Mahkamah Agung setelah melewati beragam proses dan dokumen. Patrialis juga menyebut sudah berkoordinasi dengan KPK.
Toh, belakangan, KPK mengaku tak pernah diajak berembuk soal grasi dan remisi. Boleh jadi karena itu pula Direktur Pusat Kajian Antikorupsi UGM Zainal Arifin Mochtar menilai pemberian grasi bagi Syaukani dan bebasnya besan Presiden, Aulia Pohan, punya hubungan kuat. Sebab, bisa jadi grasi menjadi cara mengalihkan isu yang semakin kuat.
WIDIARSI AGUSTINA | FIRMAN HIDAYAT | ANTON SEPTIAN | MAHARDIKA SH