Fathur mengatakan, berdasarkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang pajak daerah yang diajukan Pemerintah Kota Surabaya, disebutkan PKL yang terkena pajak 10 persen adalah PKL yang mempunyai omzet Rp 1 juta per bulan.
"Usaha mikro yang kena pajak omzetnya Rp 300 juta, apakah masuk akal PKL yang omzetnya cuma Rp 1 juta terkena pajak," ujar Fathur.
Menurut Fathur, yang makan di warung PKL adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. Itu sebabnya dia tidak setuju PKL dibebani pajak, karena justeru membebani masyarakat bawah.
Penolakan juga dikemukakan anggota Komisi Perekonomian DPRD Surabaya Mochammad Mahmud. Dia mengatakan tidak sepantasnya PKL dibebani pajak. "Omzetnya Rp 1 juta, tapi keuntungan bersih mereka sangat sedikit," ucapnya. Jika tujuannya untuk menggenjot pendapatan asli daerah (PAD), tidak perlu PKL dijadikan sasaran.
Ketua DPRD Surabaya Wisnu Wardhana berjanji akan menolak Raperda tersebut. "Wajar kalau restoran dibebani pajak, tapi tidak untuk PKL," paparnya.
Wisnu mengatakan, keuntungan bersih PKL hanya sekitar Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu per hari. Para PKL pun harus berpindah-pindah tempat untuk berjualan karena terkena penertiban. Wisnu juga mengatakan, mekanisme pengenaan pajak terhadap PKL juga tidak mudah. ”Tugas kita justeru membantu para PKL agar bisa mandiri dan mengembangkan usahanya," katanya.
Walikota Surabaya Tri Rismaharini beralasan pengenaan pajak terhadap PKL untuk mengedepankan asas keadilan. Jika restoran kena pajak maka PKL pun harus terkena pajak. Pertimbangan lainnya, omzet PKL kena pajak di atas upah minimun Kota Surabaya, yakni di atas Rp 1 juta. DINI MAWUNTYAS.