TEMPO Interaktif, Jakarta - Sejumlah kalangan mendesak pemerintah menghentikan pemberian remisi atau pengurangan masa hukuman bagi para koruptor. "Karena sekarang kita menghadapi situasi darurat korupsi," ujar Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar kemarin.
Ia mengusulkan penghentian remisi bersifat sementara atau moratorium. Moratorium, kata Zainal, diberlakukan sampai terjadi penguatan perlawanan terhadap korupsi. "Kalau situasi pemberantasan korupsi membaik, pemberian remisi bisa dibuka kembali."
Pengampunan dan pemberian remisi besar-besaran kepada para terpidana kasus korupsi dalam peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-65 lalu dikritik berbagai pihak karena mengusik rasa keadilan publik. Menurut Zainal, dalih berkelakuan baik sebagai dasar remisi patut dicurigai.
"Yang menentukan kategori baik kan sipir dan kepala penjara, yang terkenal paling mudah dibeli," ujarnya. Zainal menyebutkan contoh kasus sel mewah Artalyta Suryani.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi, yang kecewa terhadap pembebasan dan remisi kepada para koruptor, bahkan mengusulkan revisi aturan soal ini. Menurut Wakil Ketua KPK Haryono Umar, aturan pemberian remisi tak memenuhi rasa keadilan. "Perlu dipikirkan bagaimana aturan tersebut bisa lebih baik lagi," kata Haryono.
Haryono mencontohkan harapan masyarakat soal hukuman berat bagi koruptor. Beberapa waktu lalu muncul wacana hukuman mati bagi koruptor. Sebagian ulama, kata dia, bahkan berpendapat jasad koruptor tak boleh disalatkan oleh pemimpin umat.
Dari sekitar 4.700 narapidana yang dikurangi masa hukumannya pada peringatan 17 Agustus lalu, 330 di antaranya terpidana kasus korupsi. Sebelas di antaranya bahkan langsung bebas karena masa kurungannya telah masuk dua pertiga setelah dikurangi remisi.
Mereka yang langsung dibebaskan antara lain empat bekas Deputi Gubernur Bank Indonesia: Aulia Pohan, Maman Soemantri, Bun Bunan Hutapea, dan Aslim Tadjuddin. Saleh Djasit, bekas Gubernur Riau, yang tersangkut kasus proyek mobil pemadam kebakaran, juga dibebaskan.
Pengacara senior dan mantan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, Adnan Buyung Nasution, mengatakan, bila rasa keadilan masyarakat demikian terusik, publik bisa mengajukan permohonan untuk memperberat syarat bagi pemberian remisi dan grasi. "DPR bisa memanggil Menteri Hukum dan HAM untuk membahas hal ini," ujarnya.
Namun Adnan tak setuju jika koruptor sama sekali tak diberi peluang mendapatkan grasi atau remisi. "Karena mereka juga punya hak asasi," ujarnya.
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Rudy Satriyo, mengatakan penegakan hukum bagi kasus korupsi terletak pada aspek pemidanaannya. "Hukumannya yang dimaksimalkan, diperberat," katanya.
l DIANING SARI | RATNANING ASIH | ANTON SEPTIAN | MAHARDIKA SATRIA