“Sekitar setahun sebelumnya dia dipasung. Tapi kayu untuk memasung dirusak karena badannya besar dan kuat. Makanya kami kurung,” kata paman Simun, Kasdi, Sabtu (21/8).
Menurut Kasdi, keponakannya tersebut mengalami gangguan jiwa. Penyakit itu diderita Simun sejak pulang dari bekerja di Kepulauan Riau. Tahun 2007, Simun bersama kakaknya bekerja sebagai buruh pabrik. Setahun kemudian, tanpa alasan yang jelas, anak kelima dari sembilan bersaudara itu pulang kampung. “Awalnya tidak begitu nampak kelainan jiwanya. Namun lama-lama semakin parah,” ujar Kasdi.
Pihak keluraga sebenarnya sudah mengobatkannya ke Puskesmas setempat hingga ke dokter di Surabaya, namun belum ada perubahan yang berarti.
Sementara itu, Sriati, salah satu tetangga mengatakan, sebelum dipasung dan dikurung, Simun sering membuat keributan di kampong, bahkan kerap melakukan pengrusakan. “Dia memecahkan kaca rumah, perabot, merusak tanaman di sawah, hingga menyakiti tetangga sekitar,” ucapnya.
Berdasarkan pengataman Tempo, Simun berasal dari keluarga tidak mampu. Kasdi maupun kedua orang tuanya hanyalah buruh tani. Namun, secara umum, warga Dusun Sendang, Desa Trisono, yang berjarak sekitar 10 kilometer dari ibu kota Kabupaten Ponorogo, bukanlah warga yang terbelakang.
Keputusan untuk mengurung Simun, seperti penuturan Kasdi, karena pihak keluarga tak ingin perilaku Simun mengganggu ketentraman warga lainnya. Keterbatasan dana tidak memungkinkan keluarga Simun secara rutin mengobatinya. Keluarga pun tidak tega menitipkan Simun di rumah sakit jiwa. ISHOMUDDIN.