TEMPO Interaktif, Jakarta - Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) menilai tim nasional penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di Laut Timor (PKDTML) yang dipimpin Menteri Perhubungan, Fredi Numberi tidak bergerak cepat untuk menyelesaikan masalah tumpahnya minyak di laut perbatasan dengan Australia itu. Padahal, menurut YPTB, sejak Maret lalu Fredi Numberi mengaku sudah memonitor dan memilik catatan perkembangan peristiwa itu, namun hingga sekarang belum ada pembicaraan resmi dan tegas dengan antara pemerintah Indonesia dengan pihak Australia.
“Padahal beberapa waktu lalu Presiden SBY berkunjung ke Australia dan berbicara di depan parlemen Australia, namun tumpahnya minyak tersebut tidak dibahas,” kata Heri Bastian, aktivis YPTB di Jakarta.
Menurut Heri, ketidakseriusan sikap pemerintah Indonesia dalam menyikapi masalah tersebut tercermin dari tidak seragamnya klaim kerugian yang muncul. Fredi selaku koordinator timnas mengklaim, kerugian akibat tumpahnya minyak tersebut sebesar USD 5 juta, sedangkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad mengklaim kerugian sebesar USD 10 juta. “Nah, pemerintaha provinsi Nusa Tenggara Barat klaim kerugian sebesar USD700 juta. Ini kan tidak kompak,” katan Heri lagi.
Heri melihat, tumpahan minyak di Laut Timor itu tidak hanya menyebabkan kerugian dana bagi Indonesia, namun secara langsung memberi efek buruk bagi masyarakat yang tinggal di sekitar area tumpahan. “Masyarakat sekitar area tumpahan sudah mulai kehilangan mata pencaharian mereka karena jumlah ikan di area tersebut sudah turun secara drastis,” ujarnya.
Karena itu,menurut Heri, pemerintah Indonesia harus berani dan tegas kepada pemerintah Australia dalam permasalahan itu. YPTB menilai, jika Presiden SBY masih bersikap lunak dengan Australia, maka akan memeberi efek buruk bagi Indonesia ke depannya.
Sementara itu, pengamat pertahanan maritim, Connie Rahakundini Bakrie menilai, berlarutnya maslah itu karena sikap tidak tegasnya pemerintah Indonesia. Menurutnya, pemerintah Indonesia belum melihat maslah tersebut sebagai ancaman. “Masalah itu hanya akan selesaia jika pemerintah Indonesia mulai melihatnya sebagai ancaman,” kata Connie.
Tak jauh berbeda dengan Connie, Jonson Gaol, peneliti dari Institut Pertanian Bogor menilai pemerintah harus segera melihat permasalahan tersebut sebagai ancaman. Menurutnya, semakin lama arah tumpahan minyak tersebut semakin masuk ke teritorial Indonesia.
“Apalagi mulai september angin akan mengarah ke atas, ke arah kepulauan Indonesia. Bisa-bisa nanti semua tumpahan minyak tersebut berada di daerah Indonesia,” kata Jonson.
ARIE FIRDAUS