“Sangat mungkin haluan politik para petinggi tersebut akan dipaksakan kepada prajurit di bawahnya,” kata Ikrar kepada Tempo kemarin. Apalagi, ia menegaskan, “Saat ini penguasa negara berasal dari TNI. Saya mendukung TNI ikut Pemilu, tapi bukan 2014.”
Pendapat serupa diungkapkan oleh Direktur Riset Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Zainal Abidin. Menurut dia, TNI belum layak diberi hak pilih pada Pemilu 2014 karena pengalaman menunjukkan bahwa tentara (dulu disebut Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) hanya merujuk pada satu partai. “Pengalaman tersebut masih menjadi preseden buruk bagi kebebasan berpolitik di Indonesia,” katanya.
Ikrar dan Zainal mengungkapkan hal itu menanggapi pernyataan Panglima TNI Djoko Santoso di Jakarta kemarin. Seusai upacara serah-terima jabatan Komandan Pasukan Pengamanan Presiden di Markas Komando Paspampres, Djoko menyatakan bahwa pihaknya masih akan mengkaji kemungkinan TNI menjadi peserta pada Pemilu 2014.
"Waktunya masih panjang, masih akan dibahas dengan kepala staf angkatan dan para pejabat TNI lainnya," kata Djoko. Bahkan, kalau diperlukan, untuk menentukan sikap tentang hal ini, TNI akan mengadakan penelitian, baik di kalangan internal maupun eksternal. “Wacana tentara menggunakan hak pilih bukan berasal dari TNI,” kata Djoko. "Ini baru wacana yang datangnya dari luar, saya hanya merespons."
Adapun waktu yang tepat bagi tentara untuk ikut serta dalam pemilihan umum, menurut Ikrar, adalah pada Pemilu 2019. Untuk keperluan tersebut, banyak hal harus dipersiapkan. Di antaranya adalah amendemen Undang-Undang Pertahanan dan Undang-Undang tentang TNI. “Harus ditambahkan bab khusus mengenai hal ini. Diperjelas hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan,” katanya.
Ahli politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, punya pendapat berbeda. Menurut dia, setelah 15 tahun absen, TNI pantas diikutsertakan sebagai pemilih dalam Pemilu 2014. “Saya pikir sudah pantas dicoba,” katanya kemarin. Alasannya, di satu sisi, aparat TNI memiliki tugas menjaga keamanan negara. Namun, di sisi lain, kata Arbi, mereka juga warga negara biasa yang ingin memiliki hak pilih.
“Yang patut diwaspadai adalah adanya upaya dari partai politik peserta pemilu untuk melibatkan aparat TNI sebagai partisan,” kata Arbi. Dalam hal ini, menurut dia, bisa saja terjadi hal seperti pegawai negeri sipil yang banyak dilibatkan dalam pemilihan umum. Untuk itulah diperlukan penegasan aturan yang melarang keterlibatan pegawai negeri maupun TNI jika nantinya mereka diikutsertakan dalam pemilu.
“Sekarang, aturan yang mengikat PNS (pegawai negeri sipil) saja terasa kurang, ini harus dibenahi,” kata Arbi. “Kalau aturannya kurang tegas, aparat TNI juga akan ditarik-tarik oleh orang-orang partai.”
PUTI NOVIYANDA | PINGIT ARIA | DWI WIYANA