TEMPO Interaktif, Jakarta - Kementerian Luar Negeri mengatakan kepergian relawan Warga Negara Indonesia dalam rombongan Armada Kebebasan ke Gaza tidak direkomendasikan Pemerintah. "Karena situasi Gaza bahaya, ada blokade laut oleh pasukan Israel," kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Teguh Wardoyo di kantornya di Jalan Pejambon, Jakarta, hari ini (1/6).
Menurut Teguh, pada 18 Mei 2010, lima orang sukarelawan dari MER-C mengirim surat pemberitahuan ke Kementerian Luar Negeri atas rencana mereka. Kelima orang tersebut adalah Nur Fitri Moeslim Taher (ketua tim), Dr. Arief Rachman, Abdillah Onim (logistik dan penerjemah), Nur Ikhwan Abadi (insinyur), dan Muhammad Yasin (jurnalis TV One).
Esoknya, Kementerian membalas surat tersebut dan menyatakan tidak merekomendasikan kelimanya untuk pergi ke Gaza. "Tapi Pemerintah tidak bisa berbuat banyak, apapun pertimbangannya, jika WNI bersikukuh untuk pergi, itu hak mereka," ujar Teguh.
Rombongan Armada Kebebasan tidak hanya membawa lima WNI yang mengirim surat pemberitahuan ke Kementerian. Total ada 12 WNI yang ikut dalam rombongan. Tim lainnya berasal dari Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina (Kispa) dan Sahabat Al-Aqsa. Mereka adalah Ferry Nur, Muhendri Muchtar, Hardjito Warno, dan Oktaviano ikut dalam tim Kispa. Sementara, Dzikrullah, Santi Soekanto, dan Surya Fachrizal ikut dalam tim Sahabat Al-Aqsa.
Hingga kini, 12 WNI masih ditahan Pemerintah Israel. Kementerian Luar Negeri belum bisa melakukan komunikasi langsung dengan mereka. "Ada kesulitan komunikasi karena kita tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel," kata Teguh.
Kapal Mavi Marmara yang mengangkut lebih dari 500 aktivis dan anggota parlemen 50 negara dalam rombongan Armada Kebebasan diserbu militer Israel saat baru berada sekitar 60 kilometer lepas laut Gaza kemarin. Rombongan ini berniat mendobrak blokade Gaza oleh tentara Israel dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada rakyat Palestina.
PUTI NOVIYANDA