TEMPO Interaktif, Surakarta - Pemerintah Kota Surakarta berniat untuk mengkonservasi kawasan Laweyan yang meliputi Kelurahan Laweyan, Bumi, Sondakan, dan Purwosari. Kawasan kampung batik Laweyan selama ini dikenal sebagai salah satu sentra pembuatan batik tradisional, sekaligus sebagai salah satu warisan budaya dengan beragam motif batik yang telah diciptakan, dan bangunan peninggalan zaman dulu.
“Rencana itu sudah ada sejak lima tahun lalu. Untuk merampungkan konservasi secara menyeluruh butuh Rp 200 miliar,” kata Wali Kota Surakarta Joko Widodo kepada Tempo, Minggu (16/5).
Konservasi akan menyentuh renovasi, rekonstruksi ulang, atau restorasi seluruh bangunan di kawasan tersebut sehingga nantinya layak disebut kampung heritage atau kawasan budaya. Joko mengatakan kemampuan daerah terbatas sehingga anggaran diajukan ke pusat. “Sedang diajukan, tapi prosesnya kan tidak mudah,” lanjutnya.
Dia juga meminta partisipasi masyarakat di Laweyan, terutama para pengusaha batik, untuk turut membantu proses konservasi. “Karena banyak yang mampu (secara ekonomi),” katanya. Secara realistis Joko mengakui proses konservasi tidak akan selesai dalam sekali pengerjaan. “Nantinya akan bertahap.”
Dia menolak kehadiran investor, mengingat konservasi tidak diarahkan ke arah komersial. Konservasi lebih banyak berbicara ke penelitian, pendidikan, dan pemeliharaan kekayaan budaya.
Ditemui terpisah, Ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan Alpha Febela Priyatmono mengatakan Kelurahan Laweyan telah menjadi kawasan cagar budaya berdasarkan surat keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik per Januari 2010.
Laweyan memiliki sejarah, bangunan, lingkungan, batik, tradisi, adat istiadat, yang mencerminkan kekayaan budaya Indonesia. Dengan demikian, dia mendukung rencana konservasi terhadap kawasan tersebut. Dia menambahkan, masyarakat Laweyan selama ini juga sudah turut serta dalam konservasi, misalnya mengembalikan bentuk Langgar Laweyan seperti aslinya. “Kami swadaya untuk kegiatan itu,” jelasnya.
Juga renovasi Langgar Merdeka, di mana masing-masing membutuhkan biaya Rp 100 juta. Selain itu, pemilik rumah kuno secara mandiri merenovasi rumahnya. “Agar kawasan Laweyan tetap memiliki ruh sebagai kawasan cagar budaya,” tuturnya.
UKKY PRIMARTANTYO