Sebab, sejak dicanangkan awal 2009, minat pengusaha batik untuk memakai pewarna alami cenderung menurun. “Alasannya karena prosesnya yang rumit untuk membuat warna alami,” jelasnya, saat ditemui wartawan di ruang kerjanya, Senin (22/3).
Karena proses yang rumit, alhasil harga jual produk menjadi lebih mahal daripada jika perajin memakai pewarna kimia. Saat ini pihaknya berupaya memotong proses pembuatan warna agar menjadi lebih sederhana. “Kalau dulu secara manual, sekarang perajin kami bantu dengan alat,” tuturnya.
Joko menambahkan, sudah saatnya para perajin batik beralih ke pewarna alami. Selain bahan mentahnya mudah didapat, juga murah dan ramah lingkungan. “Tren pasar dewasa ini juga menyukai batik dengan warna-warna lembut, dimana bisa didapat dengan menggunakan pewarna alami,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman Gunawan Setiawan mengakui bahwa semakin sedikit perajin batik yang mau mencoba menggunakan pewarna alami. Senada dengan Joko, alasannya tidak efisien dan justru menambah biaya produksi. “Prosesnya lama, biaya tinggi, butuh kesabaran, dan harga jualnya tinggi,” sebutnya.
Dia mencontohkan, untuk mewarnai kain sepanjang 2 meter dibutuhkan satu kilogram warna alami. Sedangkan jika menggunakan pewarna kimia, hanya butuh satu gram. Belum lagi dengan proses pewarnaan yang dilakukan berkali-kali.
“Standarnya butuh 30 kali celupan. Tapi sekarang kami cukup dengan 5-7 kali dengan konsekuensi warna batik tidak terlalu kental,” ucapnya.
UKKY PRIMARTANTYO