TEMPO Interaktif, Surabaya - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin membuka rahasia mengenai keengganan organisasinya untuk mendukung calon Presiden SBY-Boediono dalam pemilu presiden lalu. “Saya kira tidak masalah disampaikan ke media, kita ada buktinya,” kata Din ketika membuka sebuah seminar yang digelar Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur di Surabaya, Selasa (16/3).
Menurut dia, alasan untuk mendukung pencalonan Jusuf Kalla-Wiranto saat itu bukan didasari alasan pribadinya, tapi lebih pada mandat dari mayoritas Dewan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah se-Indonesia. Mandat itu, kata Din, disampaikan oleh mayoritas DPW Muhammadiyah ketika menggelar sebuah pertemuan di Yogyakarta pada 27 Mei 2008.
“Saat itu, seluruh DPW minta saya menyebut satu calon yang akan didukung Muhammadiyah, tapi saya tidak mau mendikte mereka,” kata Din. Karena tidak mau mendekte inilah, Din lantas mengkategorikan ketiga pasangan calon dengan Jim (J/Jusuf Kalla-Wiranto), lantas Syin (S/SBY-Boediono), dan terakhir, Mim (M/Mega-Prabowo).
Dari tiga kategori ini, Din melanjutkan, ternyata tidak ada satupun yang memilih Mim, sedangkan yang memilih Syin hanya DPW Muhammadiyah Papua Barat, dan sisa seluruhnya memilih Jim.
Sebagai organisasi yang tidak bisa lepas dari politik, Din mengakui, dukungan itu memang mengandung konsekwensi. “Tidak dapat menteri, ya, tidak apa-apa kan sudah dapat Wakil Ketua MPR,” katanya. Dukungan menjelang pemilihan presiden saat itu, Din menegaskan, memang harus diberikan. “Masa kita minta seluruh warga golput, kan tidak mungkin," katanya.
Din melanjutkan, dukungan Muhammamdiyah dalam politik praktis bukanlah yang pertama. Bahkan, sejak muktamar di Makasar pada 1971 sudah jelas disebutkan bahwa Muhammadiyah tidak bisa berafiliansi dengan partai politik. “Yang tidak boleh dengan partainya, sedangkan dengan politiknya tidak dilarang," katanya.
Saat masih dipimpin Amien Rais, kata Din, nuansa politik juga sangat kentara. Apalagi, Amien dikenal sebagai lokomotif reformasi. Begitu juga saat dipimpin Syafii Maarif, dimana saat kejatuhan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Muhammadiyah sempat mengundang Megawati Soekarnoputri untuk mendesak agar maju sebagai presiden. Bahkan, saat itu, Muhammadiyah mengeluarkan desakan resmi untuk mendesak Wapres Megawati bangkit mengambil langkah penyelamatan bangsa.
“Saat itu ada pertemuan tanggal 29 Januari, kalau tidak salah pada 2001, saya sendiri yang tanya ke Mega, 'Apakah Bu Mega bersedia jadi Presiden?',” kata Din. Menanggapi hal itu, Megawati, masih menurut cerita Din, menjawab bahwa amanat dari Konggres PDI-P bukan dirinya sebagai Wapres, tapi sebagai Presiden. "Karenanya, saat itu, Muhammadiyah langsung mendukung upaya menaikkan Megawati," kata Din.
ROHMAN TAUFIQ