TEMPO Interaktif, Bojonegoro - Bupati Bojonegoro Suyoto mengatakan fatwa haram merokok yang dikeluarkan Pimpinan Pusat Muhammadiyah sifatnya masih sementara karena harus melalui tahapan panjang.
“Masih panjang. Makanya saya bilang, sifatnya masih sunnah,” tegas Suyoto, yang juga mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Gresik tersebut, pada Tempo lewat telepon, Selasa (16/3) siang.
Jika sifatnya sunnah, maka yang tidak merokok mendapat pahala dan sebaliknya jika merokok, juga tidak apa-apa. Risikonya masih soal kesehatan saja. Jadi itu, lanjut Suyoto, tergantung pada pribadi masing-masing mudharat dan manfaatnya.
Terkait dengan fatwa haram dari pengurus pusat Muhammadiyah, lanjutnya, prosesnya masih panjang. Fatwa itu sendiri masih di tingkat komisi Tarjih yang masih akan dibahas di tingkat Muktamar Tarjih atau yang sekarang berganti nama Musyawarah Nasional Tarjih. Jika materi itu disetujui maka tingkatannya naik bernama Tanfid (perintah) dari Muhammadiyah.
“Tiga tahapan itu, tentu alot dan panjang,” imbuh Suyoto yang juga tercatat sebagai Dewan Pimpinan Wilayah Partai Amanat Nasional Jawa Timur itu.
Suyoto juga mengakui, sebagai Bupati Bojonegoro, dirinya tidak bisa melarang atau mencegah jika masyarakatnya menaman bibit tembakau. Justru, jika masyarakat di Bojonegoro menanam tembakau, akan dibantu dengan menyediakan bibit. Apalagi, kabupaten ini, masuk kategori daerah penyuplai tembakau cukup besar di Jawa Timur.
Seperti diketahui, dalam keputusan salah satu komisi di PP Muhammadiyah Nomor 6/SM/MTT/III/2010 tanggal 7 Maret 2010, disebut fatwa haram merokok. Dasarnya, selain menggunakan pertimbangan Alquran dan Hadits (hukum) Islam, serta pertimbangan sebab-akibat merokok. Tetapi, fatwa itu kemudian memunculkan polemik, termasuk di tubuh organisasi keagamaan yang didirikan KH Ahmad Dahlan tahun 1912 ini.
Setidaknya dalam satu pekan ini, polemik juga berkembang. Termasuk, bagaimana masa depan industri rokok, berikut nasib ribuan tenaga kerja di sejumlah daerah penghasil tembakau, cengkeh dan sejenisnya.
SUJATMIKO