TEMPO Interaktif, Batam - Sebanyak 39 kepala keluarga nelayan Tanjung Bemban, Batam, mengajukan somasi kepada PT Sembawang Machincal Off-shore Engineering (SMOE ) terkait pencemaran lingkungan di perairan tempat nelayan menangkap ikan. Pencemaran timbul akibat perusahaan tersebut melakukan reklamasi pantai seluas 22,3 hektare.
Reklamasi pantai itu menimbulkan kerusakan biota laut yakni rusaknya terumbu karang karena tertimbun lumpur. "Kami susah mencari ikan yang dekat pantai," kata Arfah, Ketua Rukun Nelayan Tanjung Bemban kepada Tempo, Jumat ( 5/2).
Untuk mencari ikan ke perairan lebih dalam, nelayan setempat tidak memiliki peralatan cukup terutama kapal kayu, yang digunakan selama ini belum mampu menjangkau laut dalam.
Arfah bersama Rukimin menceritakan, biasanya hasil tangkapan rata-rata Rp 100 ribu per hari, tapi kini menurun hanya Rp 25 ribu per hari. Karena itu, para nelayan mengajukan somasi agar pihak perusahaan lain tidak meniru PT SMOE yang dinilai sewenang-wenang.
Rukimin, Ketua RT setempat mengatakan, nelayan dipastikan tidak bisa mencari ikan selama 18 bulan, menunggu air kembali jernih dan terumbu karang bersih serta ikan datang ke lokasi itu lagi.
Menurut kalkulasi, dalam somasi itu nelayan minta pihak PT SMOE membayar ganti rugi akibat tidak bisa melaut selama 18 bulan senilai Rp 1,4 miliar. Kalkulasinya 39 KK x Rp 100 ribu per hari x 20 hari x 18 bulan.
Ini mengacu pada Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. "Kami tidak bermaksud menghambat pembangunan, tapi pembangunan itu harus ada efek peningkatan kesejahteraan kepada para nelayan."
Khaeruddin dari Ahmad Dahlan & Partner mengaku telah menerima permintaan nelayan untuk mengajukan somasi kepada pihak PT SMOE di Nongsa, Batam. "Kami sedang pelajari dulu berkasnya," kata Khaeruddin.
Kasus ini akan diteruskan ke pihak yang berwenang yakni Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Batam. Sebab, nelayan harus dilindungi dari tindak semena-mena perusahaan.
Manager PT SMOE, Rahmat enggan berbicara dengan Tempo. Namun beberapa waktu lalu pernah mengatakan, tujuan reklamasi itu untuk membuat fabrikasi pengeboran lepas pantai.
Hingga kini, sebut Rahmat, dari 22,3, hektare itu, seluas 6,5 hektare telah selesai ditimbun, sisanya menunggu izin Badan Pengenndalian Dampak Lingkung. Hingga kini izin itu belum keluar dari Bapedalda Batam. "Tak mudah dapat izin," jawab Rahmat waktu itu.
Ia mengaku telah memberi kompensasi senilai Rp 200 juta untuk nelayan. Uang tersebut diberikan kepada pengurus DPC HNSI Kota Batam atas nama Firmansyah. Firmansyah pun mengaku sudah menerima uang itu, tapi belum sempat membagikannyanya. "Karena nelayan itu banyak," ujarnya.
Alasan Firmansyah itu ditolak oleh Arfah dan Rukimin. "Itu tidak ada niat baik untuk memberi, sebab mereka yang tinggal di Tanjung Bemban terkena dampak langsung, sedangkan yang dibagi oleh HNSI adalah nelayan berjarak jauh dari Tanjung Bemban itu," tegas Arfah yang mengaku pernah didatangi orang tak dikenal dan diancam bunuh bila terus membeberkan masalah PT SMOE.
Karena alasan itulah maka Arfah dan kawan-kawan mengajukan somasi dan sekaligus minta perlindungan kepada pengacara Khaeruddin yang tergabung dalam Ahmad Dahlan & Partner di Batam. "Supaya merasa aman," lanjut Arfah yang ketika menemui Tempo memakai sandal jepit dengan topi pet yang lusuh.
Kepala Bapedalda Kota Batam Dendi Purnomo kepada Tempo mengatakan, pihaknya PT SMOE belum mengantongi izin reklamasi (timbun pantai ). "Saya minta PT SMOE mengurus dulu izin itu supaya tak ada masalah," tegasnya.
Bila tidak diurus, maka pembangunan di situ bisa batal. Sebab tiap perusahaan yang berhubungan dengan lingkungan diperlukan surat izin Bapedalda Kota Batam. Pihaknya, kata Dendi, telah memerintahkan pihak perusahaan untuk tidak melakukan reklamasi lagi hingga izin dikeluarkan.
Rumbadi Dalle