Menurut dia, dengan kerjasama tersebut akan menjadikan masyarakat lebih bertanggung jawab dalam melestarikan hutan. Pengelolaan secara bersama juga bertujuan menekan pembalakan liar dan pendudukan lahan secara illegal.
Melalui kerjasama itu, masyarakat akan diberi ijin untuk menanam kopi dengan sistem bagi hasil. Syaratnya, mereka harus memelihara pohon naungan milik Perhutani. Mereka juga diwajibkan menggunakan pupuk non oganik. "Penggunaan pupuk kimia menyebabkan akar pohon kopi menjadi lemah. Tanah pun menjadi gembur sehingga mudah longsor,” ujar Taufik Setyadi pula.
Selain tanaman kopi, masyarakat juga bisa menanam pohon sengon. Bibitnya diberikan secara gratis oleh Perhutani. Masyarakat bertugas menjaga sampai pohon tersebut siap tebang ketika berumur sekitar lima tahun. "Saat panen masyarakat berhak mendapat bagian 90 persen, sedangkan Perhutani 10 persen," katanya.
Selain mengatasi hutam yang gundul, kerjasama juga diharapkan bisa menyelesaikan sekitar 800 hektare lahan Perhutani yang hingga saat ini masih menjadi obyek sengketa dengan masyarakat. Lahan hutan tersebut berlokasi di wilayah Kecamatan Tempurejo, Wuluhan, dan Kecamatan Silo.
Dijelaskan pula oleh Taufik Setyadi, hingga tahun 2000 lalu, Perhutani Jember telah kehilangan sekitar 9.500 hektare areal hutan karena dijarah, diduduki dan kemudian disertifikatkan oleh warga. Sekitar 4.000 hektare di antaranya merupakan areal hutan lindung dan hutan produksi.
Perhutani Jember sudah berupaya menyelesaikan sengketa, di antaranya melalui musyawarah, sistem bagi hasil dan pemberian tanah dengan sistem tukar guling. "Sebisa mungkin kita menggunakan mekanisme di luar jalur hokum karena menyangkut masalah sosial," tuturnya. MAHBUB DJUNAIDY.