Ratusan petani lainnya yang tersebar di Desa Sumberjambe, Sumberpakem, Cumedak, Gunungmalang, Rowosari, Plerean, Pringgondani dan Desa Jambearum juga mengalami nasib serupa. Mereka mengaku bingung dan tidak bisa lagi mengelola sawahnya. “Padahal sekarang harga beras sedang mahal-mahalnya," tutur P.Mohtar alias Tarji, 40 tahun, seorang petani.
Kepala Dinas Pertanian Hari Wijayadi mengatakan, penyebab utama munculnya hama itu adalah pola tanam yang tidak memperhatikan siklus hama wereng. "Ada perlakukan yang salah saat petani tetap mempertahankan menanam padi, sehingga siklus hama wereng tidak terputus," ucapnya. Sedangkan hama tikus, katanya, terus berkembang karena hewan pemangsa, seperti ular sawah saat ini boleh dibilang langka karena diburu warga untuk dijual.
Petani terpaksa melakukan aksi perburuan terhadap tikus. Petani di Desa Rowosari, misalnya, sudah melakukan aksinya selama tiga pekan terakhir. Mereka bisa mendapatkan sekitar 600 ekor tikus setiap hari.
Perburuan dilakukan dengan menggunakan sumbu kompor yang telah dilumuri minyak tanah dan dibakar, kemudian memasukkannya ke liang-liang tikus. Mereka juga menggunakan belerang yang dipecah menjadi bagian-bagian kecil dan akhirnya dibakar di dekat-liang tikus.
Tikus yang berlarian keluar dari lubangnya dibantai dengan menggunakan berbagai alat, seperti pentungan kayu dan bamboo. "Dibasmi pakai obat atau racun sudah tidak mempan,” tutur Amirullah, 35 tahun, seorang petani di Desa Rowosari. MAHBUB DJUNAIDY.