TEMPO Interaktif, Lumajang - Jaksa penuntut umum tidak mengajukan banding atas vonis hakim yang menghukum Ponjo, 64 tahun, warga Desa Sumberjo, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, 75 hari penjara atas perkara penebangan sebatang pohon sengon jenis Tekik.
Jaksa penuntut umum Joni Samsuri kepada Tempo mengatakan pihaknya tidak perlu mengajukan banding atas putusan tersebut. Pertimbangan tersebut dibuat dengan dasar usia terdakwa yang sudah lanjut, surat rekomendasi dari perhutani serta terdakwa tidak mengetahui kalau perbuatannya tersebut masuk kategori melanggar. Joni juga mengatakan Ponjo hanya perlu mendekam di penjara selama beberapa hari saja.
“Paling kurang tiga hari saja. Kamis (7/1) besok sudah bebas,” kata Joni kepada Tempo sore ini. Ponjo mendekam di penjara sejak 24 Oktober 2009. Setelah dipotong dengan masa tahanan, Ponjo bebas pada Kamis (7/1) mendatang.
Ponjo sendiri mengaku lega dengan putusan tersebut. Dia menganggap putusan tersebut sudah tergolong meringankan. “Saya menerima putusan tersebut. Saya cukup senang,” kata Ponjo diwawancarai usai sidang siang ini.
Seperti diberitakan sebelumnya, pada 24 Oktober 2009, sekitar pukul 08.00 WIB, terdakwa menebang Kayu Sengon Tekik dari kawasan hutan milik Perhutani di Dusun Selorejo, Desa Klopo Sawit, Kecamatan Candipuro. Ponjo sebenarnya menjual pohon miliknya sendiri kepada Selam yang sekaligus sebagai penebangnya.
Satu pohon Sengon yang sudah dibelah menjadi 13 batang dengan ukuran masing-masing 400 cm x 24 cm x 12 cm itu dijual dengan harga Rp 500 ribu kepada Selam. Oleh Selam, kayu tersebut kemudian dijual kembali kepada Salam seharga Rp 550 ribu. Ponjo ditangkap petugas Polsek Candipuro dengan tudingan pembalakan liar. Ponjo sendiri saat dikonfirmasi Tempo mengatakan ditangkap karena tidak izin dulu kepada Perhutani saat melakukan penebangan.
Ponjo juga menyayangkan penangkapan tersebut hanya terhadap dirinya saja. Kasus Ponjo ini mendapat perhatian serius dari Polres Lumajang, Kejaksaan Negeri Lumajang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lumajang serta Perhutani.
DAVID PRIYASIDHARTA