Ketua Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung, Azwar Kaili, mengatakan hingga saat ini mereka masih mendapat cap buruk di masyarakat, yaitu sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) dan Islam sesat seperti yang dituduhkan pemerintah. “Padahal kami ini bukan pemberontak, kami hanya ingin mempelajari Islam secara murni,” kata Azwar Kaili, yang ditemui Tempo di kediamannya, Kamis (10/12).
Azwar mengungkapkan, sekitar Agustus 2008, dia dan sejumlah saksi korban peristiwa Talangsari lainnya yang didampingi kuasa hukum bertemu dengan Presiden Yudhoyono di Istana Negara. “ Saat itu Presiden berjanji akan membantu penyelesaian kasus Talangsari. Tapi sekarang sudah lebih dari setahun, kasusnya tidak ada tindak lanjut setelah dilimpahkan Komnas HAM ke Kejaksaan Agung,” ujar pria yang kehilangan seorang anaknya dalam peristiwa itu.
Lelaki 67 tahun yang kini menjadi petani kakao itu berharap peringatan hari HAM pada hari ini bisa dijadikan momen mengingat kembali kasus Talangsari yang terbengkalai.
Saksi korban peristiwa Talangsari lainnya, Suparmo, mengatakan para saksi korban sudah menunggu terlalu lama agar pemerintah dan aparat penegak hukum memproses kasus ini. Sebab selama ini, mereka yang menjadi korban penyerbuan aparat militer, justru yang dipenjarakan dan diberi stigma aliran sesat.
”Sementara pelaku pelanggaran HAM yang menewaskan ratusan keluarga kami masih belum tersentuh hukum. Vonis bersalah bagi pelaku kejahatan HAM secara tidak langsung merupakan rehabilitasi terhaap nama baik kami,” ujar Suparmo.
Suparmo menambahkan, selain janji menuntaskan kasus Talangsari, Presiden juga berjanji akan membantu pembangunan di lokasi pelanggaran HAM, yaitu di Dusun Talangsari III, Labuhan Ratu, Lampung Timur. “Saat ini kondisi di Talangsari III tidak jauh berbeda dengan 20 tahun silam, seperti masih sulitnya akses jalan dan belum ada aliran listrik. Kami melhat ada proses pembiaran di Talangsari agar tidak berkembang seperti daerah lain,” ungkap dia.
Peristiwa Talangsari terjadi pada 7 Februari 1989 lalu. Ratusan aparat militer menyerbu sebuah pondok pesantren yang dipimpin Warsidi, karena dianggap menganut aliran sesat dan membahayakan pemerintahan RI. Menurut data Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam), tim investigasi dan advokasi kasus Talangsari, sedikitnya 246 penduduk sipil tewas dalam peristiwa tersebut.
NUROCHMAN ARRAZIE