Tatapan Pairan selalu kosong. Mimik mukanya berubah-ubah. Sesekali tertawa, tapi dengan cepat menjadi gelisah. Jika diajak bicara, tak satu kalimat pun meluncur dari mulutnya. Ia hanya bisa mengerang dan menggoyangkan kepala. Itulah cara dia berkomunikasi.
Keluarga ini tinggal di dua petak rumah joglo yang dihubungkan sebuah pintu. Masing-masing berlantai tanah tanpa sekat kamar. Satu rumah berfungsi sebagai ruang tamu dan tidur, sementara satunya untuk dapur.
Tak ada barang mewah di dalam rumah. Sepasang meja-kursi dan lemari kayu tua diletakkan di ruang sudut rumah. Barang itulah yang menjadi harta benda mereka.
Sejak Daman, suaminya, meninggal puluhan tahun lalu, Jemitun hanya tinggal bersama dengan dua anaknya. Pairan dan Misri, 12 tahun. Untuk menghidupi diri dan kedua anaknya, wanita yang telah tua dimakan usia itu hanya mengandalkan menjadi buruh tani dan mengembalakan kambing tetangga.
Pairan adalah satu diantara puluhan penderita keterbelakangan mental (idiot) di desa Karang Patihan Kecamatan Balong Ponorgo. Usia mereka bervariasi, dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa dan manula. Beberapa diantaranya bahkan masih terhitung satu keluarga.
Keluarga Giyem, 45 tahun, misalnya. Giyem yang telah lama ditinggal mati kedua orang tuanya, Koiman dan Nyami, tinggal bersama empat orang adiknya. Boinem; 40 tahun, Hidayat; 36 tahun, Janem; 35 tahun, dan Painten; 34 tahun. Keempatnya mengalami keterbelakangan mental.
Tak jauh dari rumah Giyem, ada juga keluarga mbah Sipon. Kedua anaknya, Jamun dan Bodong, juga mengalami keterbelakangan mental. Para tetangga tak tahu pasti berapa usia mereka. Bahkan juga Giyem, ibu mereka. Namun dari perawakannya, diperkirakan mereka berusia 30-an tahun.
Kepala Desa Karangpatihan Daud Cahyono, 50 tahun, mengatakan kemiskinan yang menyebabkan mereka terbelakang mentalnya. Faktor kurang gizi dan vitamin menjadi penghambat pertumbuhan fisik dan psikologis mereka saat kecil. “Kurang yodium,” kata dia.
Desa ini memang terhitung miskin. Terletak 20 kilometer di sebelah selatan kota Ponorogo. Hanya ada satu akses jalan ke desa ini dari pusat Kecamatan. Jaraknya sepanjang enam kilometer dengan kondisi jalan berbatu dan aspal yang telah rusak.
Kondisi tanah berbatu dan tandus membuat daerah ini kurang cocok untuk pertanian. Air pun susah didapat. Terlebih di musim kemarau. Saat sumur dan mata air mulai mengering, warga menggali dasar sungai untuk mendapatkan air.
Sementara untuk menghidupi kesehariannya, warga lebih banyak bertanam ketela. Tanaman ini menjadi bahan baku utama gaplek, makanan utama warga. Tak hanya di pekarangan rumah, warga menanamnya hingga ke lereng perbukitan yang mengitari desa. “Resikonya,” kata Parlan, 45 tahun, seorang warga, “Harus siap dengan serbuan kera gunung”.
Di sisi timur, barat, dan utara Desa Karangpatihan memang tampak perbukitan yang menjulang. Warga menyebutkan gunung Lumbung. Bukit itu sekaligus menjadi pertanda perbatasan kabupaten Ponorogo dan Pacitan.
Daud mengatakan, jumlah warga desanya mencapai 5.300 jiwa atau 3000 kepala keluarga. Sebagian besar hidup dalam kondisi miskin. Sebanyak 298 keluarga dari 3000 keluarga yang ada, hidup di bawah garis merah kemikinan.
Di bawah golongan terparah dari tingkat kemiskinan ini, lanjut dia, masih ada satu tingkat lagi. Mereka miskin sekaligus mengalami keterbelakangan mental. Jumlah mereka mencapai 111 jiwa yang terdiri dari 43 keluarga. Warga desa biasa menyebut mereka dengan golongan 43. “Tapi, biar idiot mereka juga tahu duit,” kata Daud tertawa.
ANANG ZAKARIA