TEMPO Interaktif, Jakarta - Ujian Akhir Nasional (UAN) tidak tepat digunakan untuk ujian saringan masuk ke perguruan tinggi negeri karena tujuannya beda. Ujian diselenggarakan untuk mengukur ketercapaian kurikulum, sedangkan ujian saringan masuk perguruan tinggi untuk melakukan seleksi.
"Tujuannya saja beda, tentu materinya juga beda," kata Laoly Paat, Koordinator Koalisi Pendidikan. Menyatukan dua konsep tersebut adalah satu hal yang salah karena akan ada hal-hal yang hilang.
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh sebelumnya menyatakan akan menggunakan hasil UAN untuk masuk perguruan tinggi. Tujuannya, mengintegrasikan pendidikan dari tingkat terendah SD hingga perguruan tinggi. Hal itu ia ungkapkan dalam pemaparan program 100 hari kerja Departemen Pendidikan Nasional.
Laoly mengatakan setiap tingkat pendidikan memiliki tujuan yang berbeda, sehingga cara mengevaluasinya pun berbeda. "Mengapa ini yang menjadi fokus utama?," katanya. Padahal, ada persoalan mendasar yang harus dibenahi.
Melalui ujian akhir murid dipersiapkan agar mampu mengerjakan ujian tetapi tujuan pendidikan yang sebenarnya terabaikan. Seharusnya menteri membuat program-program agar murid suka belajar, bahkan merasa membutuhkan. Misalnya, murid menjadi senang menulis, membaca, bereksperimen atau melakukan observasi. Tetapi sejak ada ujian akhir nasional, murid lebih banyak berlatih soal-soal ujian saja.
Hal penting lain yang tidak terlihat dalam program 100 hari kerja menteri adalah pemberantasan korupsi di lingkungan departemen maupun di luar. Padahal, departemen ini memiliki anggaran besar yang rawan korupsi, akibatnya program-program tidak terlaksana dengan baik.
Selain itu, menteri juga tidak menyinggung soal masalah kekerasan dan perkelahian di sekolah. Masalah ini telah bertahun-tahun berlangsung dan menelan korban meninggal. Kampus dan sekolah selama ini seolah melakukan pembiaran dan menganggap hal yang biasa. Terlebih lagi, pemerintah pun tidak berupaya menyentuh persoalan tersebut.
Sekretari Koalisi Pendidikan Ade Irawan yang juga Koordinatior Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch juga menilai program 100 hari kerja menteri tidak menyentuh persoalan mendasar.
"Kelihatannya, menteri yang baru tidak mengerti masalah pendidikan," katanya. Menurutnya, hal penting yang harus dibenahi saat ini adalah reformasi internal dan masalah komersialisasi sekolah. Pendidikan adalah hak setiap warga negara, tetapi kenyataannya hanya masyarakat yang mampu yang bisa mendapatkan pendidikan berkualitas. Sementara masyarakan tidak mampu tetapi berprestasi tidak bisa mendapatkannya.
Ade mengusulkan agar menteri meminta masukan kepada para pemangku kepentingan agar dapat menerapkan kebijakan yang tepat. Menteri sebaiknya tidak hanya memanggil para rektor tetapi juga guru yang terlibat langsung dalam proses belajar para peserta didik.
Sebaiknya, menteri mengevaluasi penerapan UAN. Berbagai kasus kecuruangan tidak bersifat kasuistis tetapi memang kesalahan kebijakan. Sekolah, dinas pendidikan, maupun pemerintah daerah terjebak gengsi agar murid-murid lulus ujian akhir dengan berbagai cara, sehingga terjadi kebocoran dimana-mana.
AQIDA SWAMURTI