TEMPO Interaktif, Jakarta - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat diminta segera mengirim surat kepada Presiden agar segera dibentuk Pengadilan Ad Hoc Hak Asasi Manusia sebagai tindak lanjut hasil paripurna DPR RI pada Senin (28/09).
Paripurna itu merekomendasikan dibentuknya Pengadilan Ad Hoc HAM untuk mengungkap tragedi penculikan dan pembunuhan sejumlah aktivis pada periode 1997-1998.
"Surat harus segera dikirim, sebab dua hari lagi masa kepemimpinan Ketua DPR RI periode sekarang akan berakhir," ujar ketua Komisi Nasional HAM Ifdhal Kasim saat jumpa pers dikantornya, Jakarta, Selasa (29/09).
Surat itu wajib dibuat sebab menjadi bagian dari keputusan final yang diambil oleh DPR RI. "Kalaupun Ketua yang sekarang tak sampai waktunya, maka bisa dibuat oleh DPR RI periode depan, hukumnya wajib."
Demikian juga dengan pembentukan pengadilannya. Menurut Ifdhal, Presiden wajib melaksanakan rekomendasi DPR RI tersebut, sebab tidak ada lagi alasan untuk menolak atau mengulur-ulur waktu. "Dulu mungkin lama karena belum ada rekomendasi dari DPR RI, sekarang sudah dan Presiden wajib melaksanakannya," kata Ifdhal.
Apalagi, katanya, pada masa kampanye calon presiden lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah jelas menyatakan sikap politiknya soal penegakan HAM.
"Pada periode kedua ini Presiden harus menunjukkan komitmennya dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat, setelah sebelumnya lebih banyak fokus pada ekonomi," ujarnya.
Mengenai jangka atau batasan waktu pelaksanaan rekomendasi tersebut, Ifdhal mengatakan memang tidak ada dasar hukum yang secara eksak mengaturnya.
"Namun saya rasa lebih cepat lebih baik, segera saja, mengingat kasus ini telah terjadi cukup lama dan para korban pun setiap Kamis selalu berdemonstrasi di depan Istana Negara," ujarnya. Komnas HAM berharap pengadilan akan terbentuk segera setelah kabinet baru dilantik. "Mungkin setelah 20 Oktober".
Komnas HAM juga berjanji akan mendorong pembentukan pengadilan ini. "Kami pasti akan dorong, dan pers kami harap juga terus melaksanakan fungsi kontrol untuk mengingatkan dan menagih masalah ini," ujarnya.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai mengatakan rekomendasi ini jadi kabar baik bagi seluruh korban. "Ini membuka kembali peluang para korban untuk meminta keadilan dan mendapat kompensasi, retribusi, dan rehabilitasi," ujarnya. Para korban, lanjut dia, bisa mengajukan hak-hak tersebut melalui LPSK.
Lembaganya, kata Semendawai, juga siap memberikan perlindungan jika dalam proses di pengadilan korban atau saksi memerlukannya. "Silakan ajukan permohonan kepada kami, kami pasti akan memprosesnya," ujarnya.
TITIS SETIANINGTYAS