TEMPO Interaktif, Sebatik!-- @page { size: 21.59cm 27.94cm; margin: 2cm } P { margin-bottom: 0.21cm } -->: Gertakan Police Marine (Polisi laut) Malaysia tak membuat Sappe, nelayan bagan dari Kampung Tanjung Aru, Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur ciut. Tanpa ragu, ia menjawab gertakan polisi yang naik ke bagan I miliknya, sekitar dua bulan lalu.
Sappe sebelumnya mengetahui ada kapal perang milik Polisi Malaysia yang mengarah ke bagannya. Kapal patroli polisi Malaysia itu datangnya dari perairan Tawau, Sabah Malaysia.
“Kamu ini ada di wilayah Malaysia,” kata Sappe menirukan gertakan Polisi Laut Malaysia tersebut.
“Tak taulah kalau ini di Malaysia. Yang saya tahu ini Indonesia,” Sappe menjawab dengan logat Melayu khas perbatasan Indonesia-Malaysia. Polisi itu pun berbalik meninggalkan bagan Sappe menuju kapal perang Malaysia.
Tak jauh dari bagan milik Sappe, terdapat bagan milik Bella. Ia pun tak luput dari gertakan polisi Malaysia. Jawabannya sama, “Saya tak tahu kalau ini masuk Malaysia.” Beruntung keduanya hanya digertak dan tak mengalami tindak kekerasan.
Ketika itu, kondisi perairan Ambang Batas Laut (Ambalat) tak setegang saat ini. Lalu lalang kapal patroli polisi Malaysia bagi para nelayan adalah pemandangan biasa.
Tapi sejak mencuatnya sengketa Ambalat para nelayan tak lagi melihat kapal patroli polisi Malaysia. TNI Angkatan Laut menyiagakan enam kapal perangnya di sepanjang perairan perbatasan Indonesia-Malaysia itu. “Takut kali mereka,” kata Sappe.
Kedua nelayan itu menunjukkan jalur yang biasa dilalui kapal patroli Polisi Malaysia saat Tempo ikut kapal mereka. Jalur lalu-lintas kapal Malaysia itu tak jauh dari bagan-bagan nelayan yang dibangun di tengah laut.
“Ini juga sempat diklaim polisi Malaysia itu, katanya sebelah bagian dalam laut bagan adalah Indonesia dan sebelah luarnya Malaysia,” kata Bella sambil menunjukkan bagan 16, bagian terluar bagan milik nelayan Indonesia.
Sepanjang perjalanan, ditengah laut tampak sejumlah bendera sebagai tanda akan dibangun bagan. “Tapi nelayan masih takut karena selalu didatangi Polisi Malaysia,” kata Bella.
Rencana pembangunan bagan itu dibenarkan oleh Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Sebatik, Masjidil. Menurutnya, kejadian yang dialami Bella dan Sappe sudah diketahui para nelayan lain. Oleh karenanya, para nelayan tak mau mengambil resiko dengan membangun bagan. “Kami sampai sekarang tak tahu dimana garis batas laut Indonesia dan Malaysia itu,” kata Masjidil.
Kegalauan Masjidil diiyakan oleh sejumlah nelayan. Mereka meminta agar pemerintah segera memastikan batas dengan membangun menara di perairan Sebatik seperti yang ada di Karang Unarang.
Atas kejadian yang menimpa Bella dan Sappe yang merupakan anggota KTNA, Masjidil meyakinkan mereka untuk tetap bertahan. Alasannya, bagan keduanya masih berada di dalam kawasan Indonesia.
“Saya lihat di GPS, diambil garis lurus dari patok barat ke patok timur yang ada di Sungai Pancang, bagan kami di Indonesia. Kalau memang bagan kami di Malaysia artinya garis batas negara tak lurus, tapi belok kebawah dari patok timur,” katanya.
Sebagai nelayan, Bella dan Sappe mengaku tak mengetahui pasti batas negara karena tak bisa dilihat dengan kasat mata. Ketika keduanya melaut yang ada di benaknya adalah menghasilkan tangkapan ikan yang melimpah.
Sebenarnya keduanya mengaku khawatir atas gertakan polisi Malaysia terlebih sampai naik ke bagan akan terus berlangsung. Tapi sebagai tulang punggung keluarga, gertakan tak membuatnya berhenti mencari ikan di perairan Ambalat.
Mencuatnya sengketa Ambalat ini sedikit banyak bisa membuat lega para nelayan. Mereka bisa melaut dengan aman tanpa ada lagi gangguan Polisi Malaysia. “Mereka sekarang kan tak ada lagi, karena patroli TNI sekarang rutin,” ujarnya.
Tapi di sisi yang lain, mereka juga mengaku khawatir atas mencuatnya kembali krisis Ambalat. Alasannya, dengan berlarutnya penyelesaian Ambalat justru akan menghambat penjualan hasil tangkapan nelayan. “Ikan kami yang beli itu Tawau, Malaysia. Kalau sampai mereka tak mau lagi kami juga yang susah,” ungkapnya.
FIRMAN HIDAYAT