Alasannya, kata Meutia, keberadaan peraturan daerah saja belum cukup untuk meningkatkan jumlah anak yang memiliki akta kelahiran. Meski tiap tahun pemerintah sudah memberi penghargaan bagi bupati/walikota yang telah memiliki peraturan daerah terkait akta, tapi ternyata jumlahnya masih jauh dari target.
Pentingnya akta, ia melanjutkan, agar anak terhindar dari pemalsuan identitas. "Pemalsuan identitas merupakan titik awal terjadinya kekerasan, trafficking dan eksploitasi berkepanjangan," urainya.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2007 menunjukkan hanya 42 persen anak dibawah usia lima tahun yang memiliki akta. Padahal jumlah anak Indonesia (0-18 tahun) berdasar Survei Penduduk Antar Sensus tahun 2005, sebanyak 77.8 juta.
Staf Direktorat Catatan Sipil Santi, yang hadir sebagai pembicara, mengakui masukan data kependudukan dari akte kelahiran masih minim. Padahal menteri dalam negeri sudah mengeluarkan surat edaran tentang prioritas pencatatan kelahiran sejak 1 Agustus 2008 ke Kepala Daerah. "Masyarakat masih belum merasa kegunaan akta," jelasnya.
Ketua I Komisi Perlindungan Anak Indonesia Masnah Sari menyatakan mahalnya biaya pembuatan akta, menjadikan masyarakat miskin enggan mengurusnya. "Kalau pemerintah serius, harusnya digratiskan saja," imbuhnya.
Asisten Deputi Urusan Hak Sipil dan Partisipasi Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan Pardina Pudiastuti memaparkan bahwa Jakarta merupakan kota yang 83 persen warganya mempunya akta. "Sedangkan Aceh, ternyata paling minim yang memiliki akta kelahiran, hanya 24 persen warganya yang punya" jelasnya.
Ia menyarankan Pemerintah agar memberi hukuman kepada daerah yang warganya banyak yang tidak punya akta. "Tapi harus ada penghargaan pula, bagi kepala daerah yang sudah sadar," tambah Pardina. Yang terpenting, katanya, pemerintah punya ketegasan agar target 2011 bisa tercapai.
DIANING SARI