TEMPO Interaktif, Palembang: Wahana lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan meminta Pemerintah Sumatera Selatan menegur PT Pertamina dan subkontraktornya terkait kebocoran minyak dan gas, serta pencemaran lingkungan.
Berdasarkan catatan Walhi, sejak tahun 2000 hingga 2009 sedikitnya telah terjadi 35 kali kebocoran, sembilan kali di antaranya terjadi di Kabupaten Muara Enim. Semua kejadian kebocoran tersebut didominasi oleh kebocoran minyak dan gas milik Pertamina.
Manajer Pengembangan Sumber Daya Organisasi (PSDO) Walhi Sumateras Selatan, Hadi Jatmiko, kepada Tempo mengatakan data terbaru adalah kebocoran sumur gas tua 01 milik PT. Indojaya, subkontraktor Pertamina, yang menyebabkan semburan minyak mentah bercampur gas dan air asin setinggi 15 meter di Desa Sukaraja, Kecamatan Abab, Kabupaten Muara Enim, pada tanggal 11 Mei 2009 yang sampai sekarang belum berhenti.
Dengan kondisi itu, Walhi menilai perusahaan minyak dan gas, khususnya yang ada di Sumatera Selatan ini, tidak pernah konsisten untuk mengelola sumber daya alam yang baik dan sehat.
“Tujuan mereka hanya semata-mata bagaimana mengeksploitasi sumber daya alam yang ada tanpa pernah serius memikirkan hidup dan kehidupan lingkungan dan masyarakat sekitar,†katanya.
Walhi juga menilai pemerintah tidak pernah tegas dalam merespons persoalan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kelalaian perusahaan. Padahal, sebagai organisasi politik yang bertanggung jawab dalam mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan, pemerintah mempunyai otoritas untuk menindak pelaku kejahatan.
Walhi meminta perusahaan migas di Sumatera Selatan untuk segera melakukan tindakan pemeriksaan rutin dan perawatan terhadap sumur-sumur migas dan menganti pipa-pipa tua yang sudah sangat tidak layak sehingga dapat membahayakan warga.
Dia mengimbau kepada masyarakat yang menjadi korban pencemaran, bahwa mereka mempunyai hak untuk melakukan gugatan kepada perusahaan pencemar sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997.
ARIF ARDIANSYAH