TEMPO Interaktif, Jakarta: Indonesia Corruption Watch secara tegas menolak berkembangnya wacana seleksi ulang Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) guna menggantikan posisi Ketua KPK non-aktif, Antasari Azhar. Dalam wacana tersebut, mekanisme seleksi Ketua KPK tidak lagi melalui panitia yang dibentuk pemerintah, melainkan langsung dipilih DPR.
“Upaya memangkas proses seleksi tidak lagi melalui panitia seleksi yang dibentuk pemerintah, namun DPR dapat langsung memilih pimpinan berdasarkan peringkat saat fit and propert test di Komisi III DPR,” ujar Wakil Koordinator Badan Pekerja ICW, Emerson Juntho, melalui surat elektronik, kepada Tempo, Rabu (6/5).
Bahkan, menurut ICW, berkembang wacana bahwa pengganti Antasari harus berasal dari institusi Kejaksaan. Alasannya, Ketua KPK harus berasal dari institusi yang sama adalah ide yang keliru. Penjelasan Undang-Undang KPK jelas menyebutkan bahwa pimpinan KPK terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat. Unsur pemerintah tidak dapat dipersempit dengan hanya dengan institusi kejaksaan.
”Dengan dasar bahwa institusi KPK adalah bersifat independent, maka orang-orang yang terpilih bukan mewakili kepentingan pemerintah. Oleh karenanya, mekanisme seleksi tetap harus mendasarkan aturan dalam UU KPK, membuka peluang masuknya calon dari unsur masyarakat maupun pemerintah,” ujar Emerson.
Menanggapi alasan tersebut, ICW menilai DPR terlalu terburu-buru terhadap wacana penyeleksian Ketua KPK. Sebab, menurut ICW, status Antasari saat ini baru tersangka. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK , langkah hukum yang dapat dilakukan hanya pemberhentian sementara sebagai pimpinan KPK melalui Keputusan Presiden dan pemberhentian tetap setelah berstatus terdakwa.
”Seharusnya, DPR menghormati proses hukum yang sedang berjalan, dan tidak justru melakukan intervensi pada penegakan hukum yang sedang dilakukan Kepolisian,” ujar Emerson.
Selain itu, KPK dinilai ICW tidak mengalami kekosongan hukum. Dengan masih adanya empat pimpinan KPK lain yang dapat menjalankan tugas dan fungsi KPK, maka tidak dapat diartikan sebagai terjadi kekosongan hukum.
Koordinator Transparency International Indonesia (TII), Todung Mulya Lubis, sepakat dengan Emerson. Menurut dia, merupakan suatu pendapat yang salah kaprah apabila menganggap putusan empat pimpinan sebagai keputusan yang inkonstitusional.
“Bagaimanapun, tidak ada aturan yang mengatur bahwa Keputusan Pimpinan KPK harus dilakukan oleh lima orang. Ini hanya pendapat yang ingin menggoyang kewenangan KPK,” ujar Todung, di Gedung KPK, Rabu sore (6/5).
Apabila wacana pemilihan Ketua KPK baru dilakukan, ICW juga mempertanyakan prosedur tes kelayakan dan kepatutan yang akan dilakukan oleh DPR. Alasan ICW, pengalaman dalam seleksi calon pimpinan KPK akhir tahun 2007 harus dijadikan pelajaran.
“Karena ICW mencatat sejumlah persoalan dalam proses tersebut. Sikap DPR yang cenderung tidak mempertimbangkan masukan dari publik terkait rekam jejak calon memperkuat dugaannya adanya politik transaksional di balik pemilihan itu, khususnya pemilihan Antasari Azhar,” ujar peneliti ICW, Febri Diansyah.
CHETA NILAWATY