“Karena terjadi beberapa pelanggaran, pembelian kapal itu otomatis batal,” kata Donatus. Hal itu ia sampaikan dalam sebuah seminar di Hotel Santika, Rabu (15/4). Menurutnya, kedua belah pihak baik Jerman maupun Indonesia melakukan kesalahan.
Pemerintah Jerman tak seharusnya menjual kapalnya kepada Indonesia karena tahu barang tersebut rongsokan. Dalam sebuah kajian, di negara tersebut juga ada undang-undang yang mengatur tidak boleh menjual kepada negara yang sedang mengalami konflik. Meski dalam perjanjian tidak disebutkan kapal tidak akan digunakan untuk perang tetapi saat pembelian, beberapa daerah sedang konflik sehingga potensi diselewengkan.
Indonesia sendiri melanggar perjanjian tujuan pembelian kapal yang antara lain akan digunakan sebagai kapal dagang, mencegah penyelundupan, dan menyelamatkan bidang perikanan. Nyatanya, kapal digunakan mengangkut prajurit ke daerah konflik yakni Aceh dan Timor Timur. Hal tersebut merupakan pelanggaran hak asasi.
Konvensi Wina tahun 1968 maupun Konvensi PBB tahun 2006 tentang korupsi bisa menjadi landasan hukum penghapusan hutang. Selain itu, bisa menggunakan yurispudensi penghapusan utang antara Norwegia dan Equador pada 2006.
Norwegia memberi hutang pada berupa kapal pada Equador yang tujuannya memberi manfaat ekonomi. Ternyata, hutang tersebut justru merugikan sehingga menghilangkan kesempatan yang menguntugkan. Selain menghapus hutang, Norwegia memberikan hibah sebagai bentuk kompensasi.
Pemerintah seharusnya bisa melakukan hal itu atau menggunakan cara lain seperti mekanisme swap. Beban hutang dialihkan ke pendanaan program-program pembangunan yang bermanfaat seperti program HIV AIDS. Selain swap, pemerintah juga bisa meminta diskon hutang sebesar 50 persen.
AQIDA SWAMURTI