Dalam forum pembahasan masalah atau Bahtsul Masail yang diikuti perwakilan pemikir dari 120 pondok pesantren se-Jawa dan Madura di Pondok Pesantren Mambaul Hikam, Desa Mantenan, Kecamatan Udanawu, Kabupaten Blitar, Rabu (22/1), seluruh delegasi ponpes menganggap pengawasan gratifikasi yang dilakukan KPK sudah tidak proporsional.
Salah satu perumus Bahtsul Masail Komisi C yang membahas tentang gratifikasi dari segi fikih, Abdul Manan mengatakan pemeriksaan kado maupun uang yang dilakukan KPK pada pernikahan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid menyalahi Al Quran. Selain tidak memiliki kewenangan untuk melihat harta orang lain, sikap tersebut bisa menumbuhkan kecurigaan berlebihan.
“Dalam Surat Al Hujurat Ayat 12 perbuatan ini disebut sebagai Tajazuz atau mencari-cari kesalahan orang lain,” kata Abdul Manan yang merupakan perwakilan dari Pondok Pesantren Al Falah, Desa Ploso, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri kepada Tempo.
Ia mengatakan, jika pemberian uang dalam pesta hajatan tersebut dinilai sebagai gratifikasi oleh KPK, hal itu akan menimbulkan persoalan sosial yang sangat rawan. Sebab selama ini masyarakat di Jawa sudah menganggap hal itu sebagai adat. Bahkan seseorang yang telah menerima pemberian dari orang lain, kemudian tidak bisa mengembalikannya kembali karena terhalang KPK, harus menanggungnya sebagai hutang. Hal inilah yang menurut para ulama tidak pas dilakukan oleh lembaga negara.
“Ini berbeda dengan pemeriksaan daftar kekayaan pejabat. Pemaknaan gratifikasi harus tetap pada koridor,” tegas Manan yang sudah menjadi perumus Bahtsul Masail sejak tahun 1995.
Atas dasar tersebut, sidang pemikir yang mengatasnamakan Forum Musyawarah Pondok Pesantren (FMPP) ini akan merekomendasikan keputusan tersebut kepada pemerintah untuk ditindaklanjuti. Hal ini dianggap penting untuk mencegah kebingungan yang muncul di masyarakat terkait budaya pemberian amplop tersebut.
Selain membahas gratifikasi, Bahtsul Masail ke-18 ini juga membahas persoalan lain yang disampaikan umat. Diantaranya adalah sah tidaknya ibadah Kurban terhadap hewan yang berpenyakit, fenomena kawin muda (pedofilia) yang dilakukan Syekh Puji di Semarang, serta fatwa Majelis Ulama Indonesia yang mengharamkan rokok.
Ketua Umum FMPP Abdul Muid menjelaskan forum seperti ini dilakukan dua kali dalam setahun dengan melibatkan seluruh pondok pesantren di Jawa dan Madura. Selain untuk mengasah keilmuan para cendekia pondok pesantren, kegiatan ini juga untuk mengkritisi kebijakan pemerintah dan menjawab kebingungan masyarakat.
Beberapa pondok pesantren besar di Jawa dan Madura hadir dalam pertemuan besar ini. Diantaranya adalah Ponpes Al Anwar Rembang, Ponpes Al Munawwir Krapyak, Ponpes API Tegalrejo Magelang, Ponpes APIK Kendal, Ponpes Maslakhul Huda Kajen Pati, Ponpes Lirboyo Kediri, Ponpes Langitan Tuban, serta Ponpes Sidogiri Pasuruan.
“Selama ini rekomendasi yang kami sampaikan selalu didengar pemerintah,” kata Abdul Muid. HARI TRI WASONO