Pemerintahan Yudhoyono-Kalla di awal pemerintahannya menargetkan angka kemiskinan 8 persen dan angka pengangguran 5,1 persen dari jumlah penduduk pada tahun 2009. Salah satu program kemiskinan adalah bantuan langsung tunai. Program subsidi itu ditujukan untuk keluarga miskin dengan syarat tertentu dalam menghadapi dampak kenaikan harga minyak.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) berencana mengusulkan kepada DPR untuk memperpanjang program Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahun depan dari 3 bulan menjadi 6 bulan. Langkah itu merupakan antisipasi jika pemerintah Amerika Serikat batal mendapatkan persetujuan kongres soal paket dana talangan (bailout) senilai US$ 700 miliar untuk mengatasi krisis keuangan di negara tersebut.
Arbi mengatakan target pengurangan jumlah orang miskin dan pengangguran sulit dicapai. Alasannya, prosentase APBN yang dialokasikan untuk program itu tidak besar. Sekitar 70 persen APBN, ujar dia, masih dialokasikan untuk belanja rutin seperti gaji pegawai. Bantuan sejumlah Rp 150 ribu per bulan dianggap tidak sebanding dengan kenaikan harga kebutuhan pokok saat ini. "Ada niat untuk membantu orang miskin tapi tidak terhindar dari eksploitasi politik, pemanfaatan pengaruh," katanya.
Pemerintah hingga kini masih melakukan program politis dan tidak menyelesaikan persoalan kemiskinan dan pengangguran secara nyata. Program-program dan langkah-langkah yang dilakukan sekedar untuk pencitraan positif pemerintah. "Coba cek berapa yang dapat BLT dan apa mereka juga datang ke (rumah Presiden Yudhoyono di) Cikeas, ke Gubernur DKI saat Lebaran?" ujarnya.
Pengamat politik Fachri Ali mengatakan pemerintah seharusnya membuat proyek padat karya untuk mengurangi orang miskin dan pengangguran. Selain mampu menyerap tenaga kerja, proyek padat karya juga mendongkrak daya beli masyarakat. Masyarakat pun, kata dia, mampu berinvestasi untuk memproduksi barang dan jasa. "Proyek padat karya lebih efektif,' ujarnya.
Kurniasih Budi