Iklan
Bukti rekaman antara Artalyta Suryani dan pejabat tinggi Kejaksaan Agung yang diperdengarkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sungguh memukul dan membuat kecewa seluruh jajaran korps Adhiyaksa. Terungkapnya praktek korupsi ini kenyataannya berdampak pada menurunnya kepercayaan publik terhadap kejaksaan ke tingkat yang paling rendah. Institusi kejaksaan saat ini mengalami krisis kepercayaan. Ibarat kapal, posisinya dapat dikatakan hampir tenggelam.Dalam sejarahnya, praktek korupsi di tubuh kejaksaan bukanlah hal baru, bahkan sudah menjadi rahasia umum. Hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2001-2002 mengenai pola-pola korupsi di lingkungan peradilan, khususnya kejaksaan, memperkuat pendapat bahwa korupsi di kejaksaan bukan isapan jempol belaka.Penelitian ICW di enam kota besar di Indonesia menemukan bahwa praktek kolusi, korupsi, dan pemerasan yang dilakukan oleh oknum jaksa biasanya terjadi pada proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga eksekusi suatu perkara. Pengalihan tahanan, penggelapan dan penghentian perkara, pengalihan dari perkara pidana menjadi perkara perdata, penghilangan barang bukti, negosiasi dakwaan dan tuntutan, dan penundaan eksekusi merupakan pola yang umum dilakukan oleh oknum jaksa yang tidak bertanggung jawab.Terungkapnya praktek mafia peradilan di atas cukup memberikan penilaian bahwa institusi penegak hukum, khususnya di kejaksaan, memiliki permasalahan besar dengan sistem integritasnya. Padahal sejauh ini ada dua institusi yang khusus mengawasi perilaku dan kinerja jaksa, yaitu Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan dan Komisi Kejaksaan. Meskipun demikian, keberadaan dua institusi ini juga tidak mengurangi praktek menyimpang yang dilakukan oleh oknum kejaksaan. Hal ini terbukti dari semakin meningkatnya laporan masyarakat mengenai perilaku jaksa yang menyimpang tersebut.Komisi Kejaksaan sejak 1 Januari hingga 14 Desember 2007 menerima 422 laporan masyarakat tentang kinerja dan perilaku jaksa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 202 laporan dilanjutkan ke Jaksa Agung. Jumlah yang masuk pada 2007 meningkat dibanding tahun sebelumnya. Pada 2006, laporan masyarakat yang masuk ke Komisi Kejaksaan sebanyak 398. Dari laporan tersebut, yang diteruskan ke Jaksa Agung sebanyak 204 laporan.Total jaksa yang diberi sanksi pada 2007 adalah 89 jaksa yang terdiri atas 25 orang dijatuhi sanksi ringan, 51 jaksa dijatuhi sanksi sedang berupa sanksi administrasi, dan 13 jaksa dikenai sanksi berat seperti penurunan pangkat, gaji, hingga pemberhentian secara tidak hormat.Tindakan pemeriksaan yang dilakukan oleh kalangan internal kejaksaan, meskipun perlu mendapat respons positif, yang disayangkan hanya sebatas pada pemeriksaan ada atau tidak adanya pelanggaran kode etik atau disiplin pegawai negeri sipil. Pemberian sanksinya juga terbatas hanya bersifat administratif, meski dengan kategori berat berupa pencopotan jabatan, mutasi, hingga non-job dan penurunan pangkat serta penundaan kenaikan gaji.Meski hasil pemeriksaan menyatakan terbukti adanya pemerasan yang dilakukan oleh oknum jaksa tersebut, sangat langka kasus yang berlanjut ke proses hukum. Hal demikian dapat dilihat dari sejumlah dugaan pemerasan atau gratifikasi yang dilakukan oleh oknum jaksa. Dalam pantauan ICW selama 2005-2007, dari 10 kasus suap yang melibatkan oknum jaksa, saat ini baru jaksa Cecep dan Burdju yang telah diproses hingga ke pengadilan dan akhirnya dijatuhi vonis bersalah oleh hakim. Ironisnya, setelah menjalani masa tahanan selama 2 tahun, kedua orang ini dapat kembali berdinas di lingkungan kejaksaan.Meski sudah ada tindakan yang diambil, kenyataannya persoalan korupsi di jajaran kejaksaan tetap saja tak kunjung usai. Selain karena faktor kesejahteraan jaksa yang rendah, terdapat beberapa faktor lain yang menyebabkan kalangan internal kejaksaan gagal menyelesaikan persoalan korupsi yang dilakukan oleh oknum jaksa. Pertama, persoalan kultural. Terdapat kondisi di mana adanya keengganan (ewuh pakewuh) di kalangan jaksa untuk memeriksa sesama rekan seprofesi dan semangat untuk melindungi korps (espirit de corps) yang berlebihan. Kedua, sering kali terjadi praktek kolusi dalam proses pemeriksaan sehingga melahirkan kesimpulan dugaan penyimpangan tak terbukti. Ketiga, penjatuhan sanksi administratif terhadap jaksa-jaksa yang dinilai bermasalah, khususnya melakukan korupsi, pada akhirnya tidak memberikan efek kejut (shock therapy) bagi jaksa-jaksa nakal lainnya. Pada sisi lain, sanksi tersebut tidak akan memutus mata rantai praktek mafia peradilan, khususnya yang melibatkan jaksa. Jika sanksinya hanya mutasi, jaksa yang bersangkutan justru akan menerbitkan bibit penyakit (epidemi) korupsi baru di daerah yang ditempati. Dapat dipastikan akan selalu muncul oknum-oknum jaksa yang kembali melakukan tindakan serupa di masa yang akan datang.Tindakan yang tidak tegas dari pimpinan kejaksaan juga akan melahirkan aktor-aktor korupsi baru di lingkungan kejaksaan. Harusnya ada sinergi antara bidang pengawasan dan bidang pidana khusus di lingkungan kejaksaan. Artinya, apabila dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh bagian pengawasan ditemukan adanya indikasi suap atau pemerasan yang dilakukan oleh oknum jaksa, hal ini seharusnya ditindaklanjuti oleh bagian pidana khusus untuk memproses secara pidana.Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sendiri dalam amanat memperingati Hari Adhyaksa pada 2006 bahkan telah memerintahkan Jaksa Agung agar tidak segan-segan menindak tegas sesuai dengan hukum tanpa diskriminasi terhadap oknum-oknum jaksa yang tidak terpuji dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Pernyataan Presiden ini sesungguhnya memberikan kewenangan penuh bagi Jaksa Agung untuk membersihkan jaksa-jaksa nakal di seluruh jajaran kejaksaan.Persoalannya adalah apakah Jaksa Agung punya keinginan kuat untuk membersihkan institusi kejaksaan dari praktek korupsi? Rentetan peristiwa suap atau pemerasan atau kolusi yang dilakukan oleh sejumlah oknum jaksa seharusnya dapat menjadi momentum bagi kejaksaan untuk memperbaiki diri, khususnya memperbaiki mekanisme pengawasan dan penjatuhan sanksi disiplin bagi jaksa yang dinilai bermasalah.Dalam rangka memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi kejaksaan dan membersihkan dari oknum-oknum jaksa yang tidak bertanggung jawab, hal yang harus dilakukan oleh Jaksa Agung adalah berani bertindak tegas untuk meminimalkan praktek korupsi di lingkungan kejaksaan. Bukan sebaliknya, melindungi jaksa-jaksa nakal hingga berdampak negatif sebagai "pelindung jaksa nakal".Upaya pembersihan dan menyelamatkan institusi kejaksaan saat ini sudah tidak dapat ditawar lagi dan harus segera dilakukan. Jika langkah tegas tidak juga dilakukan, sebaiknya Presiden SBY perlu mempertimbangkan untuk mencopot Jaksa Agung Hendarman Supandji dan menggantinya dengan orang yang memiliki integritas, kualitas, keberanian, dan komitmen dalam pemberantasan korupsi.Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch