Bintang mengakui, saat ini pihaknya mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan. Pada pertemuan pertama yang lalu dia didukung oleh kalangan cendekiawan, rektor, dan utusan berbagai daerah seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Timur. Sedangkan pada pertemuan kedua kali ini, dia akan memperluas jaringan ke LSM-LSM seluruh Indonesia. Hasil SI MPRS Plus itu bukan untuk di serahkan kepada MPR atau pemerintah, melainkan diserahkan langsung kepada rakyat.
Agenda SI MPRS Plus kali ini, Bintang melanjutkan, antara lain mengamandemen UUD 1945. Yaitu pasal 2 ayat (1) tentang susunan MPR, dan pasal 6 ayat (2) tentang pemilihan Presiden. Menurut Bintang, susunan MPR yang sekarang tidak mewujudkan keadaan di Indonesia lagi. Sebab Indonesia sudah sepakat untuk otonomi daerah. Oleh karena itu MPR harus terdiri dari dua kamar, DPR dan dewan utusan daerah. Kedua lembaga itu masing-masnig mempunyai kekuasaan untuk membuat undang-undang bersama dengan presiden.
Sedangkan pasal 6 ayat (2) yang berkaitan dengan pemilihan presiden, pihaknya menuntut untuk pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. “Itu supaya tidak ada kontradiksi antara sistem parlementer dan sistem presidensil,” kata Bintang. Ia membantah bila dikatakan dirinya mendukung percepatan pemilu. “Percepatan pemilu yang didengungkan selama ini adalah pemilu dengan sistem seperti tahun-tahun lalu,” Bintang menambahkan. Dia menginginkan percepatan pemilu bukan untuk memilih presiden.
Bintang menilai, ada keengganan MPR secara sengaja untuk melakukan amandemen UUD 1945, terutama pasal 6 ayat (2). Sebab bila itu dilakukan berarti akan mengurangi kekuasaan MPR dan mengurangi absolutisme kekuasaan MPR. Keberhasilan MPR menggusur Gus Dur dari jabatan Presiden, karena mereka sedang mabuk kekuasaan. “Mereka sedang mabuk dengan absolutisme. Dan mereka tidak ingin dikurangi atau dicabut hak-haknya,” kata dia. (Retno Sulistyowati)