Perintah penangkapan itu, Winarta menjelaskan, tetap harus datang dari Kejagung. "Kalau Presiden berdasarkan Kejaksaan Agung, ada bukti hukum otentik pelanggaran tindak kriminal, bisa juga," ujar dia. Alasan Winarta, saat ini status Bimantoro bukan militer lagi, tapi ia sudah berstatus sipil setelah di pecat dari jabatan Kapolri, sehingga penanganan perkara sipil ditangani oleh Kejaksaan Agung. "Kalau militer, oleh militer," kata dia. Tetapi, sebelumnya harus ada bukti-bukti pelanggaran dulu.
Ketika ditanya apakah Bimantoro melakukan insubordinasi, menurut Winarta, itu tergantung dari mana melihat kasus tersebut. Insubordinasi, bisa saja dilakukan oleh Bimantoro. "Mungkin kalau dalam hukum militer demikian, yakni dianggap desersi. Tapi yang ini insubordinasi, bisa," katanya. Tapi ia mengingatkan, dalam konteks penangkapan terhadap Bimantoro tersebut, jangan ada unsur-unsur politisnya. "Kalau demi penegakan hukum, bisa," jelas dia.
Soal pemecatan Kapolri sendiri, Frans mengatakan, sebagai panglima tertinggi TNI/Polri, Presiden punya hak melakukan itu, meskipun tanpa konsultasi pada MPR, seperti disebutkan dalam Tap MPR Nomor VII/2000. Karena Tap tersebut belum diundangkan. Tapi apakah Bimantoro melakukan pembangkangan terhadap pemecatan itu, adalah tugas Kejaksaan Agung. Apakah Kejaksaan Agung mempunyai bukti. "Kalau bukti cukup, bisa. Tapi kalau tidak, diragukan," papar dia. (Adi Mawardi)