Seharusnya, Hermawan melanjutkan, ada kebesaran jiwa masing-masing pihak yang pernah terlibat dalam struktur kekuasaan lama untuk memberikan hak kepada yang lain untuk mengambil alih kekuasaan. "Itulah yang tidak ada dalam agenda SI," kata dia.
Karena itu, ia memprediksi, setelah Sidang Istimewa, pertikaian politik tidak akan berhenti begitu saja. "Justru krisis politik ini akan berlarut lebih parah dari sekarang," ujar Hermawan. PDI-P yang akan merebut tampuk kekuasaan, harus menghadapi perpecahan dalam tubuhnya sendiri. Partai itu harus menghadapi partai-partai lain yang menagih janji. "Selama ini, Gus Dur menjadi musuh bersama. Sehingga partai-partai merasa terikat. Namun, setelah SI, kondisi ini tidak akan ada lagi," ujar pengajar FISIP UI ini.
Hermawan melanjurkan, watak keras Mega juga akan semakin mempersulit pertikaian tersebut. "Mbak Mega itu tidak seperti Gus Dur, yang bisa keras, tetapi masih mengajak kompromi," ungkap Hermawan. Jika dikerasi, Mega cenderung akan membalas dengan keras juga. Kondisi semacam itulah yang rentan menimbulkan bentrokan. Solusi terbaik, Hermawan melihat, adalah memperluas Keputusan Presiden Nomor 121/Tahun 2000. Dan Deklarasi Kenegaraan yang pernah ditawarkan Presiden Wahid kepada Mega sebenarnya telah melucuti kekuasaan Presiden secara terhormat.
Melalui perluasan Keppres itu, tambah Hermawan lagi, Presiden hanya berperan dalam tugas-tugas seremonial, yang dulunya diemban wakil presiden. "Seharusnya SI mengagendakan itu, yaitu adanya pemisahan fungsi-fungsi kewenangan politik seperti itu," ungkapnya. Sayangnya, kata Hermawan, deklarasi itu justru ditolak. (Dara Meutia Uning)