Menurut Djoko, dari 295.744 jiwa tersebut hanya 113.495 jiwa yang mempunyai hak pilih. Dan dari yang berhak memilih, diperoleh hasil pengungsi yang ingin menetap di Indonesia sebanyak 111. 537 jiwa (98,02%), yang memilih kembali ke Tim-Tim sebanyak 1.250 jiwa (1,1%), dan yang abstain (tidak memilih) sebanyak 708 jiwa (0,62%). “Terhadap pengungsi yang memilih untuk tetap di Indonesia merupakan tanggung jawab pemerintah untuk menanganinya secara menyeluruh,” tegas Djoko.
Salah satu kebijakan dalam penanganan pengungsi Tim-Tim dalam pasca registrasi, menurut Djoko, adalah melalui program resettlement atau sisipan, baik di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) atau di luar NTT. Pelaksanaan program ini harus memperhatikan syarat-syarat: ketersediaan lahan yang layak kembang dan layak usaha, dapat mempercepat pemulihan ekonomi dan percepatan pertumbuhan wilayah, tersedianya dana yang memadai, dan masyarakat setempat yang mau menerima kehadiran pengungsi agar tidak menimbulkan potensi konflik baru.
Menurut Djoko, dalam tahun 2001, dengan mengoptimalkan dana bersama yang ada pada instansi lintas sektoral, para pengungsi tersebut ditangani melalui Proyek Penanganan Pengungsi Pusat untuk penempatan di NTT sebanyak 1.050 KK melalui pembangunan pemukiman baru dan 600 KK dalam bentuk bantuan perumahan.
Djoko mengatakan, dari sejumlah pengungsi yang ingin menetap di Indonesia yaitu 34.854 KK, potensi daya tampung di NTT hanya 600 KK. Untuk menyelesaikan pemukiman kembali pengungsi yang memilih tetap tinggal di Indonesia diprogramkan untuk dapat diselesaikan selama lima tahun yang ditangani secara bersama-sama antara Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. “Untuk itu perlu disediakan peluang di luar NTT bagi yang ingin menetap di Indonesia,” jelas Djoko. (Dicki Subhan)