Pernyataan ini merupakan tanggapan atas pernyataan Jaksa Agung Marzuki Darusman yang mengatakan akan mengajukan banding dua hari lalu (7/5). Pernyataan Marzuki tersebut disampaikan sebagai tanggapan atas kecaman Sekretaris Jendral PBB, Kofi Anan yang menilai putusan hakim tidak adil.
Menurut Nicholai, dakwaan atas enam orang kliennya melakukan pembunuhan tidak terbukti karena keterangan saksi dan bukti-bukti tidak mendukung dakwaan. Apalagi tuduhan itu hanya didasarkan pada keterangan terdakwa dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Sehingga dakwaan melangar pasal 338 tentang pembunuhan dan tuntutan hukum tiga tahun tidak terbukti. Oleh karena itu, kata Nicholai, majelis hakim menganggap tindakan terdakwa hanya memenuhi dakwaan subsider tentang pelanggaran pasal 170 dan pasal 170 ayat 2 ke 3 KUHP, tentang perusakan barang-barang milik umum dan dijatuhi hukuman penjara 10 – 20 bulan.
Alex Frans, anggota tim penasehat hukum lainnya, menilai hukuman yang dijatuhkan kepada kliennya terlalu berat, karena kliennya hanya terbukti merusak kaca-kaca gedung UNHCR. “Hukuman 20 bulan sudah berat dibandingkan dengan 18 bulan yang dijatuhkan untuk koruptor yang melarikan diri,” jelas Frans. Frans kecewa atas pernyataan Jaksa Agung yang menyatakan bahwa hukuman terhadap kliennya terlalu ringan. Menurutnya, Marzuki telah menjadi corong internasional dan tidak memperhatikan kepentingan warga negara Indonesia sendiri. Seharusnya dia tidak perlu mengajukan banding dan bisa menjelaskan kepada dunia internasional mengenai masalah yang sebenarnya.
Frans mengatakan, Marzuki tidak paham kondisi di lapangan saat terjadi peristiwa pembunuhan pada 6 September 2000 di Atambua, Nusa Tenggara Timur. Nicholai menambahkan, jika kliennya terus ditekan, tim pengacara akan membuka rahasia yang selama ini belum diketahui publik. “Apapun risikonya akan kami tanggung, meskipun hal itu akan membuat bangsa kita malu,” ujar Nicholai. (Jobpie Sugiharto)