Kendala bagi Kejaksaan Agung untuk melimpahkan berkas kasus pelanggaran HAM yang telah siap, kata Moeljohardjo, adalah belum adanya Keputusan Presiden (Kepres) mengenai pembentukan Pengadilan HAM. “Pakai logika saja, sarananya belum ada untuk melimpahkan perkara yang diberkas itu,” ujar Moeljo. Karenanya, ketentuan mengenai batas waktu kedaluwarsa berkas perkara itu belum dapat dihitung.
Undang-undang (UU) Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengatur batas waktu pelimpahan perkara yang telah dilakukan penyidikan dan pemberkasan. Menurut undang-undang tersebut, waktu pelimpahan perkara ditentukan 70 hari setelah dilakukan pemberkasan. Jika tenggat waktu terlewati, maka perkara yang telah diberkas akan batal demi hukum.
Saat ini, Kejaksaan Agung telah selesai memberkas 12 kasus pelanggaran HAM pasca referendum di Timtim. Namun, Moeljohardjo mengaku tidak tahu persis nama-nama calon terdakwa dalam berkas tersebut, “tunggu saja nanti setelah kasus itu kita limpahkan ke pengadilan, di situ akan terlihat dengan jelas.” Begitu pun ketika ia ditanya salah satu yang diberkas adalah mantan Panglima TNI Jenderal Wiranto.
Jika Pengadilan Ad Hoc HAM nanti dibentuk dan Mahkamah Internasional akan tetap menyidangkan kasus pelanggaran HAM di Timtim tersebut, maka kemungkinan akan terjadi dua kali peradilan untuk kasus yang sama. (nebis in idem). Namun, kata Moeljo, mengadili dua kali kasus yang sama tidak mungkin dilakukan karena azas nebis in idem tidak memungkinkannya.“Mahkamah internasional itu ada peraturannya. Kita sudah sidik, dan sudah ada si a, si b, si c sebagai tersangkanya, jadi mahkamah internasional itu sebenarnya tidak perlu,” kata Moeljo.(Dedet Hardiansyah)
Baca Juga: