Hal ini terungkap dalam jumpa pers KONTRAS, Sabtu (3/3), yang menanggapi Islah (perdamaian) antara Try Sutrisno dengan tujuh korban Tanjungpriok pada Kamis (1/3). “DPR terlalu banyak kepentingan. Sehingga, mengabaikan kewajiban untuk menggunakan hak inisiatif mereka mengusulkan pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat kepada pemerintah,” kata Ori Rahman, Koordinator Divisi Legal Kontras.
Kontras menekankan bahwa penanganan kasus pelanggaran HAM berat, seperti kasus Tanjungpriok, adalah kasus publik. Selama ini, kecenderungan yang berkembang di masyarakat tentang kasus Priok adalah kasus korban semata. “Kecenderungan ini pun akhirnya dinikmati oleh aparat yang memang sudah gagal menyelesaikan masalah ini,” kata Usman Hamid, Sekretaris KONTRAS. “Bahkan, ini yang diharapkan aparat negara.”
Padahal, lanjut dia, kasus Tanjungpriok bukanlah kasus perdata, kasus korban, atau tindak pidana biasa. “Ini adalah pelanggaran HAM berat yang harus diajukan ke Pengadilan HAM ad hoc,” tegas dia. Jadi, walaupun para korban memutuskan untuk menghentikan tuntutannya, masyarakat tetap berhak menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, seperti kasus Priok.
Islah (perdamaian) seperti yang dilakukan Try Sutrisno dan kawan-kawan, menurut Kontras, sudah sering terjadi. Komisi ini menilai, adanya upaya para aparat yang terlibat pelanggaran HAM berat di masa lalu untuk memecah belah kekuatan korban dan mempengaruhi sistem hukum yang sedang berjalan. “Sebelumnya pernah terjadi, yaitu dalam kasus Lampung (peristiwa Talangsari). Akibat adanya islah, Komnas HAM menolak untuk menindaklanjuti dan pihak Kejaksaan Agung pun tarik ulur dalam menuntaskan kasus itu,” urai Rahman. Apalagi, DPR hingga sekarang belum juga mengajukan usulan dibentuknya pengadilan khusus itu.
Karena itu, dalam surat terbukanya kepada Ketua DPR, Akbar Tandjung, KONTRAS menuntut agar DPR segera membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk seluruh kasus pelanggaran HAM masa lalu. Ini sebagai pembuktian komitmen DPR terhadap upaya penegakan hukum yang tidak diskriminatif. (Dara Meutia Uning)