Rencana pembentukan BPK itu dilakukan menyusul mulai berlakunya Otonomi Daerah pada Januari. Program itu sendiri telah disosialisasikan ke berbagai provinsi. Salah satu wilayah yang telah dilakukan kaji kelayakan adalah Kalimantan. Pekan lalu, hasil kaji kelayakan yang dilakukan oleh Universitas Mulawarman telah disampaikan ke Departemen Kehutanan.
Kartodihardjo menyatakan, masalah utama di sektor kehutanan adalah eksploitasi hutan yang telah melebihi beban serta hak masyarakat terhadap pengelolaan hasil hutan. Semua masalah itu hingga saat ini belum tersentuh. “Kok malah membentuk badan baru?” ujar dia, heran.
Penelitian kaji kelayakan yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan ini bekerja sama dengan empat PTN, yaitu IPB, UGM, Universitas Mulawarman dan Universitas Hasanudin. Hanya saja, dalam penilaiannya, kaji kelayakan lebih memfokuskan pada masalah produksi. “Dan itu menyimpang dari kebijakan awal.”
Sebelumnya, rencana pembentukan BPK ini untuk melakukan pengelolaan terhadap areal hutan yang mengalami kerusakan. Karena itu, kehadiran BPK diperlukan untuk melakukan rehabilitasi lahan. “Bukankah Menteri sendiri menyatakan, pengusaha HPH yang efektif memperhatikan lahannya tidak otomatis berada di bawah BPK,” ujar dia lagi.
Kebijakan BPK juga bertentangan dengan keputusan Menteri Kehutanan yang telah mensosialisasikan pembagian keuntungan ke daerah. Otomatis, rencana pembentukan BPK untuk menangani areal kritis tidak dapat dilaksanakan. “Provinsi Kalimantan Timur telah menolak usulan itu, entah Irianjaya. Tanggal 9-10 Februari lalu, ada sosialisasi di sana,” kata dia. (Deddy Hermawan)