Menurut Mulyohardjo, pelacakan harta Soeharto tidak ada sangkut pautnya dengan penghentian kasus Soeharto oleh Mahkamah Agung. Sebab, pelacakan harta Soeharto tetap dibutuhkan sebagai barang bukti untuk kasus-kasus Soeharto lainnya. Juga dibutuhkan apabila kasus Soeharto lainnya membutuhkan pengganti.
Ia pun mencontohkan kasus putra bungsu Soeharto, Hutomo Tommy Mandala Putra yang dikenakan kewajiban mengganti uang negara sebesar Rp 30 miliar. Dalam kasus Tommy, Kejagung terpaksa harus melacak satu demi satu harta kekayaan Tommy untuk memenuhi uang pengganti tersebut, katanya. Nah, untuk tidak mengulangi kasus Tommy itu, pelacakan terhadap harta Soeharto pun tetap dilakukan. Kalau sudah dilacak sekarang kan sudah aman, ujarnya.
Selain itu, pelacakan harta ini juga dilakukan untuk membuktikan bahwa Soeharto benar-benar memiliki harta seperti banyak dilansir sejumlah kalangan. Bahkan, sejumlah media massa menyebutkan Soeharto memiliki banyak kekayaan di luar negeri, seperti di Selandia Baru dan Australia. Itu yang ingin dibuktikan oleh pemerintah, dalam hal ini Kejagung sebagai penyidik, ujarnya.
Namun, ia mengakui, sejauh ini belum ditemukan bukti-bukti tentang keberadaan harta Soeharto itu. Yang ada barulah keberadaan harta anak-anak atau kroni-kroninya.
Sementara soal putusan kasasi MA, Mulyohardjo menyatakan pihak Kejagung sampai hari ini belum menerima putusan itu. Padahal, seperti diberitakan, Majelis Hakim Agung telah memutuskan untuk mengabulkan permohonan kasasi kasus ini, Jumat (22/1). Dengan dikabulkannya kasasi itu, Soeharto dibebaskan dari status tahanan kota dan Kejagung diperintahkan untuk merawat Soeharto hingga sembuh atas biaya negara. (Uly Siregar)