Untuk melaksanakan peradilan terhadap para tersangka, Kejaksaan Agung akan memakai UU Nomor 26/2000 sebagai dasar hukumnya. Menurut Muljo, dalam UU itu, diatur bahwa peradilan untuk kasus pelanggaran HAM berat harus dilakukan peradilan Adhoc. Anggota majelis hakim Adhoc berasal dari pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat. Mengenai komposisi hakimnya Muljo mengaku belum tahu, soalnya komposisi hakim dan tempat persidangan perlu diatur dengan peraturan pemerintah (PP).
Penyidikan terhadap 22 orang tersangka kasus pelanggaran berat HAM itu telah selesai dilakukan sejak awal bulan November. Namun hingga kini kasusnya itu belum juga dilimpahkan ke pengadilan.
Sementara itu, sekretaris tim advokasi HAM perwira TNI/Polri, Yan Djuanda Saputra, menyatakan kesiapannya menghadapi persidangan. Kita setuju dan nggak keberatan. Makin cepat makin baik, ujarnya. Ia juga mempertanyakan perangkat hukum peradilan. Soalnya, komposisi Hakim, Jaksa, dan tempat dilaksanakannya sidang masih belum ada, karena semua itu diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Yan mengakui, hari ini tim advokasi yang dipimpin Adnan Buyung Nasution telah bertemu di jalan Denpasar Raya 117, Jakarta. Dalam pertemuan itu, kata dia, dibahas peluang-peluang yang dimiliki tim jika persidangan terhadap ke-22 tersangka itu dilakukan.
Pada persidangan nanti, Yan mengatakan bahwa timnya akan mempertanyakan penyidikan yang telah dilakukan tim penyidik gabungan Kejaksaan Agung. Soalnya, penyidikan itu dilakukan dengan landasan hukum Perpu No. 1/1999 yang sudah ditolak DPR, ujarnya. (Nurrakhmayani)