TEMPO.CO, Surabaya - Pembantu Letnan Dua Marinir (Purnawirawan) Sugimin, 79 tahun, mengatakan baru mendapat pengakuan pemerintah sebagai salah satu petugas pengambil jenazah Pahlawan Revolusi dari sumur Lubang Buaya setelah 15 tahun. Pengakuan itu diberikan oleh TNI Angkatan Darat dalam bentuk piagam penghargaan pada 18 Oktober 1980.
“Saya sudah tidak punya harapan bakal diakui pemerintah, karena awalnya saya mengira peran kami di Lubang Buaya pada 4 Oktober 1965 itu akan dihapus,” kata Sugimin saat ditemui di rumahnya, Jalan Ketintang Baru XII Nomor 27 Surabaya, Kamis, 21 September 2017.
Sugimin, anggota Batalion Intai Amfibi Korps Komando (KKO) TNI Angkatan Laut Karangpilang, Surabaya, merupakan satu dari 12 orang yang dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur, untuk mengangkat jenazah tujuh pahlawan revolusi dari dalam sumur tua. “Saya diajak ke Lubang Buaya karena pernah menolong orang kecebur sumur di Yogyakarta ,” ujarnya.
Baca: G30S 1965, Jokowi Undang Pensiunan TNI yang Angkat Jasad Pahlawan Revolusi
Selain Sugimin ada Winanto, M. Sutarto, Sumarno (dokter gigi), Kho Tjioe Liong (dokter tentara), Saparimin, J. Kandouw, A. Sudardjo, Hartono, Samuri, I. Subekti dan Baharudin. Sugimin mengaku masuk sekali saja ke dalam sumur sedalam 15 meter dan berdiameter 75 sentimeter itu untuk mengikat kaki salah satu jenazah dengan tambang.
Namun, Sugimin sudah sulit mengingat jenazah siapa yang diikatnya, juga urutan ke berapa ia masuk liang sumur. “Yang masih saya ingat, jenazah pertama yang ditarik ke atas ialah Pierre Tendean dan yang terakhir DI Panjaitan. Semua jenazah dalam keadaan utuh, tidak ada yang matanya dicungkil atau kemaluannya dipotong seperti cerita yang beredar,” kata Sugimin yang kala itu berusia 27 tahun dan berpangkat kopral.
Simak: Kenang Pahlawan Revolusi di G30S, TNI Tahlilan
Menurut Sugimin, proses evakuasi jenazah Ahmad Yani, Suprapto, S. Parman, DI Panjaitan, Sutoyo Siswomihardjo, MT Haryono dan Pierre Tendean, dimulai pukul 11.00 dan berakhir sekitar pukul 15.00. Pangkostrad Letnan Jenderal Soeharto, Komandan Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) Kolonel Sarwo Edhie Wibowo serta Letnan Dua Sinton Panjaitan memantau jalannya evakuasi.
“Jenazah dimasukkan peti dan langsung dibawa ke Rumah Sakit Gatot Subroto menggunakan Panser. Setelah semua mayat terangkat, lokasi disterilkan, tidak boleh ada yang mendekat. Dijaga pasukan baret merah,” kata dia.
Lihat: Anak-anak Pahlawan Revolusi Luncurkan Buku
Keesokan harinya jenazah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dipimpin oleh Presiden Sukarno. Sugimin dan kawan-kawan tidak hadir dalam pemakaman itu karena tidak diundang. Sejak itu dia kembali ke kesatuannya di Karangpilang. Baru pada 1980, atau enam tahun sebelum pensiun, dia dipanggil ke Markas Besar TNI Angkatan Darat untuk menerima penghargaan atas jasa-jasanya dalam mengangkat jenazah pahlawan revolusi.
Sugimin menceritakan, pada saat menerima penghargaan dari TNI AD pada 18 Oktober 1980, anggotanya tidak lengkap. Dua di antaranya, kata dia, telah meninggal.
Ia mengaku bangga menerima piagam penghargaan yang ditandatangani Presiden Soeharto. “Semula saya mengira peran kami sudah dihapuskan, karena yang mengevakuasi kok Angkatan Laut, bukan Angkatan Darat,” ujar kakek sembilan cucu ini.
KUKUH S. WIBOWO