TEMPO.CO, Surabaya - Kopral Sugimin, 27 tahun, merupakan salah satu dari 12 prajurit Korps Komando (KKO) Angkatan Laut, yang ikut dalam evakuasi tujuh jenazah dari sumur Lubang Buaya, Jakarta Timur, pada 4 Oktober 1965. Ia menceritakan bagaimana bisa bergabung dalam tim pengangkat jenazah para jenderal itu.
Sugimin, anggota Batalion Intai Amfibi KKO Karangpilang, Surabaya, berangkat ke Jakarta pada akhir September 1965. Tugas awalnya adalah melakukan survei kondisi pantai Ancol untuk pendaratan tank amfibi TNI AL.
Tugas survei kondisi pantai itu sebagai persiapan upacara peringatan Hari TNI pada 5 Oktober 1965. “Kami menyurvei kondisi pantai, kira-kira layak apa tidak untuk manuver tank-tank amfibi,” kata pria berusia 79 tahun itu saat ditemui di rumahnya, Jalan Ketintang Baru XII Nomor 27 Surabaya, Kamis, 21 September 2017.
Namun, pada 1 Oktober 1965 siang, Sugimin memperoleh kabar dari Komandan KKO Mayor Jenderal Hartono bahwa baru saja terjadi penculikan enam jenderal dan satu perwira menengah Angkatan Darat oleh kelompok bersenjata, sehingga kemungkinan peringatan Hari TNI dibatalkan atau ditunda. “Kami tim survei sebanyak 25 orang ditarik ke markas di daerah Mampang Prapatan,” ujar Sugimin.
Baca: Setiap Malam 30 September Ada Kenduri di Lubang Buaya
Pada 3 Oktober petang, kata dia, seorang intel Kostrad mendatangi markas tersebut. Tak lama berselang, Sugimin diperintah atasannya agar bersiap-siap berangkat ke Lubang Buaya dengan membawa tabung oksigen dan kompresor. Sugimin diberitahu bahwa kedatangan intel Kostrad itu untuk meminta bantuan KKO mengevakuasi jenazah korban penculikan yang telah ditemukan di Lubang Buaya. “Saya diajak karena pernah menolong orang kecebur sumur di Yogya,” ujar Sugimin.
Dinihari sekitar pukul 01.30, tim KKO yang terdiri dari 12 orang diberangkatkan ke Lubang Buaya. Mereka ialah Winarto, M. Sutarto, Sumarno (dokter gigi), Kho Tjioe Liong (dokter tentara), Saparimin, J. Kandouw, A. Sudardjo, Hartono, Samuri, I. Subekti, Baharudin dan Sugimin. “Kami dibawa dengan tiga mobil militer, termasuk mengangkut peralatan,” katanya.
Menurut Sugimin, karena belum tahu lokasi persisnya, mereka menuju ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma untuk bertanya kepada perwira jaga. Namun, kata dia, perwira jaga itu juga tidak tahu tempatnya. “Akhirnya kami bertemu seorang polisi sekitar Halim, dialah yang menunjukkan jalan ke Lubang Buaya,” kata Sugimin.
Simak: Film G 30S PKI Diputar Lagi, Ini Respon Pengunjung Lubang Buaya
Menembus gelap, Sugimin dan kawan-kawan menuju Lubang Buaya yang berjarak sekitar 3 kilometer dari Halim. Namun, ternyata lokasi sudah dijaga ketat oleh pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). “Kami dilarang masuk oleh pasukan baret merah, harus menunggu Pangkostrad Mayjen Soeharto masuk lebih dulu,” ujar dia.
Tim Sugimin tertahan di akses jalan menuju lokasi sumur sampai siang. Sekitar pukul 11.00, kata dia, rombongan Pangkostrad Soeharto datang. Barulah Sugimin dan kawan-kawan dibolehkan masuk. Sampai di sumur pembuangan jenazah, Sugimin dan rekan-rekannya langsung bekerja. Satu per satu, mereka masuk lubang sumur sedalam 15 meter dan berdiameter 75 sentimeter itu. “Posisi jenazah semua kaki di atas,” katanya.
Sugimin mengatakan dirinya termasuk yang turun ke lubang sumur untuk mengikat kaki salah satu jenazah sebelum ditarik ke atas. Namun, Sugimin mengaku sudah sulit mengingat jenazah siapa yang dia angkat. "Lubang sumurnya ngepres dengan badan saya, dasar sumur dalam keadaan kering," katanya.
Lihat: G30S, Omar Dani: Pesta di Lubang Buaya Itu Isapan Jempol
Proses evakuasi jenazah berlangsung sekitar tiga jam. Pierre Tendean diangkat pertama dan DI Panjaitan yang terakhir. Sekitar pukul 15.00 semua jasad dimasukkan peti dan dibawa ke Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto menggunakan Panser. Mereka ialah Ahmad Yani, Suprapto, Haryono, S. Parman, DI Pandjaitan, Sutoyo Siswomihardjo dan Pierre Tendean.
“Seluruh jenazah utuh, tidak ada yang matanya dicungkil atau kemaluannya dipotong. Hanya kondisinya sudah mulai membusuk dan terlihat beberapa bekas kekerasan,” kata Sugimin.
Setelah proses evakuasi selesai, kata Sugimin, Soeharto sempat memotret dia dan rekan-rekannya menggunakan kamera polaroid. Setiap orang diberi satu foto. “Pak Harto berpesan agar foto itu ditunjukkan kepada komandan dan keluarga di rumah,” kata Sugimin yang purnatugas pada 1986 dengan pangkat terakhir pembantu letnan dua.
KUKUH S. WIBOWO