TEMPO.CO, Jakarta - Para Indonesianis yang menggelar Konferensi Indonesia Update 2017 di Australian National University, Canberra, Australia menyoroti soal kekalahan calon Gubernur Inkumben Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada Pemilhan Gubernur Jakarta yang dihelat pada Februari 2017 lalu.
Dihadiri ratusan peserta, konferensi yang mengusung tema “Indonesia in the New World: Globalisation, Nationalism and Sovereignity” tersebut diadakan pada Jumat dan Sabtu, 15 – 16 September 2017.
Baca juga: Radikalisme dan Ketidakpastian Ekonomi Disebut Sumbat Investasi
Tom Power, peneliti Australian National University, mengatakan, peran elite oligarki dalam memobilisasi demonstrasi dalam Pilkada DKI Jakarta masih harus diteliti. “Butuh bukti lebih konkrit untuk memahami sifat dukungan dari elite,” kata Tom.
Menurut dia, poin ini penting untuk memahami seberapa jauh pengaruh oligarki dalam kontemporer politik Indonesia. Terutama menyangkut masalah uang, siapa yang memobilisasi, dan apa agenda politiknya. Di sisi lain, sejumlah bukti menunjukkan ada kelompok masyarakat yang pergi berdemonstrasi ke Jakarta atas inisiatif sendiri karena percaya Ahok telah menghina Islam. Masalahnya, “Kita tidak tahu pola mobilisasi mana yang mempengaruhi skala demonstrasi.”
Baca juga: Vedi Hadiz: Oligarki Kendalikan Konservatisme Islam di Indonesia
Itu sebabnya, kekalahan Ahok dalam Pilkada DKI tidak bisa hanya dijelaskan oleh pertarungan antar elite oligarki. “Kita perlu lebih jauh mengetahui pengaruh hubungan antara mobilisasi atas inisiatif sendiri dan mobilisasi yang digerakkan oleh elite,” katanya.
Bila sponsor dari elite bukan faktor yang menentukan skala demonstrasi, maka dapat disimpulkan protes menjelang Pilkada Jakarta sebagai produk dari mobilisasi yang diorganisir atas inisitif sendiri, ketimbang gerakan yang dikendalikan oleh oligarki.
Baca juga: Para Indonesianis Berkumpul di Australia Bahas Politik Indonesia
Tom menambahkan, hubungan antara preferensi Jokowi, pengaruh para penasihat dan koalisi yang dibangun Jokowi, serta struktur oligarki di Indonesia perlu diinvestigasi lebih jauh untuk memahami respons yang ditunjukkan pemerintahan Jokowi selama ini.
Deputi Direktur Asia Institute di Universitas Melbourne, Vedi Hadiz mengatakan kekalahan Ahok yang disebabkan oleh penggusuran kaum miskin kota—seperti ditekankan oleh Ian Wilson dari Universitas Murdoch, maupun aspek agama—seperti diuraikan oleh Marcus Mietzner dari ANU, masih terkait dengan kompetisi antar elit oligarki.
Baca juga: Eks Sekjen PBB Dag Hammarskjold Tewas Dipicu Sengketa Papua?
Vedi menyebutkan,. “Mobilisasi sentimen anti Ahok, baik berdasarkan kelas maupun indentitas, tidak akan terjadi tanpa kompetisi antar elit oligarki,” kata Vedi. Di satu sisi, mobilisasi tersebut menaikkan posisi Front Pembela Islam dan organisasi sejenis di Indonesia dalam lingkaran kekuasaan.
Itu sebabnya muncul kekhawatiran demokrasi akan dikuasai gerakan Islam radikal dan membuka pintu bagi kelompok sektarian. Namun menurut Vedi, FPI sebenarnya tidak memiliki kapasitas menyediakan basis sosial bagi kaum miskin perkotaan. Fenomena ini berbeda dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang mampu menyediakan klinik kesehatan dan jasa sosial.
Baca juga: Para Indonesianis Sepakat Jokowi Seharusnya Lebih Baik
“FPI selalu membutuhkan kontoversi politik yang dihasilkan dari konflik antar elit oligarki,” kata Vedi. “Sehingga terjadi simbiosis mutualisme antara FPI dan oligarki.” Karena itu kekalahan Ahok dalam Pilkada DKI, menurut Vedi, bukan kemenangan bagi organisasi semacam FPI, melainkan wajah baru dari pertarungan elit oligarki.
Fenomena ini terjadi karena ketidakhadiran gerakan kaum reformis liberal, sosial demokratik, ataupun kritik dari kelompok “kiri”. “Yang ada hanya Islamisme dan nasionalisme,” kata Vedi. Tak heran bila kritik terhadap konservatisme ataupun nasionalisme akan dicap sebagai anti-Islam maupun anti-Indonesia.
YANDHRIE ARVIAN