TEMPO.CO, Yogyakarta - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Daerah Istimewa Yogyakarta menyatakan tak ikut campur urusan suksesi raja Keraton Yogyakarta pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan Undang-Undang Keistimewaan (UUK) Nomor 13 tahun 2012. Putusan MK membuka peluang perempuan menduduki tahta Kesultanan Yogyakarta.
Ketua MUI DIY Kiai Haji Toha Abdurrahman menuturkan polemik soal isu raja perempuan Keraton Yogyakarta sebaiknya diselesaikan dengan mendasarkan pada Undang-Undang Keistimewaan. "Pendapat saya, seorang sultan harusnya laki-laki. Kalau gubernur perempuan mangga saja jika sultan (yang) menunjuk (gubernur) perempuan," ujar Toha dalam Sarasehan Safar Jumat Masjid Pathok Negara dan Masjid Kagungan Dalem Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ke-32 di Masjid Gedhe Kauman, Jumat 15 September 2017.
Baca: Perempuan Bisa Jadi Raja di Yogya, Adik Sultan: Akan Picu Konflik
Toha menuturkan sesuai UU Keistimewaan dan juga paugeran keraton, raja Yogyakarta harus bergelar Sultan Hamengku Buwono sebagai khalifatullah atau pemimpin. Dengan gelar khalifatullah, ujar Toha, menunjukkan bahwa Keraton Yogya sebagai Kerajaan Islam yang diakui nusantara hingga kekhalifahan Turki sejak ratusan tahun silam.
Atas dasar itu Toha berharap kalangan internal keraton bisa segera menyelesaikan polemik dengan tetap berpijak pada Al Quran dan Hadist sesuai asal muasalnya sebagai kerajaan Islam. "Sesuai aturan Islam, Al Quran dan Hadist, nggak usah neka-neka," ujarnya.
Dalam sarasehan yang diikuti oleh jemaah Masjid Gedhe Kauman itu juga disampaikan pengukuhan Rayi Dalem (putera) Sultan Hamengku Buwono IX, Gusti Bendoro Pangeran Hario Prabukusumo, sebagai sesepuh Paguyuban Penegak Paugeran Adat. Gusti Prabu merupakan adik tiri Sultan HB X.
Simak: Sejarawan: Isu Raja Perempuan Jadi Masalah Pelik Keraton Yogya
Paguyuban beranggotakan sejumlah elemen masyarakat, di antaranya alim ulama, abdi dalem, paguyuban padukuhan dan kepala desa. Wakil Gusti Prabu, Kanjeng Mas Tumenggung Condro Purnomo, yang ditugaskan hadir dalam sarasehan ini mengatakan paguyuban sepakat dan berharap sultan tetap bergelar Hamengku Buwono.
"Sultan HB X saat berada di dalam (keraton) menggunakan gelar Hamengku Bawono, sedangkan di Kepatihan (Kantor Gubernur DIY) memakai gelar Hamengku Buwono. Permasalahan ini belum clear," ujarnya.
Lihat: Isu Raja Perempuan, Adik Sultan HB X Tetap Pimpin Grebeg Besar
Condro yang juga pengelola museum di lingkungan Keraton Yogya ini menegaskan suksesi raja dan paugeran merupakan ranah para putra putri Sultan HB IX, HB X, dan anak-anak Sultan HB X sehingga tidak ada orang lain yang boleh ikut campur.
"Kami di luar hanya berkewajiban menjaga agar suasana masyarakat DIY ayem tentrem dan penyelesaian internal tak meninggalkan ajaran Islam dalam paugeran Kasultanan Mataram Islam Ngayogyakarta Hadiningrat," ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO