TEMPO.CO, Padang - Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai menolak rencana pemberian izin Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 20.110 hektare kepada PT Biomass Andalan Energi di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Pemberian izin itu dinilai bisa merugikan kehidupan masyarakat Mentawai.
Wakil Bupati Mentawai Kortanius Sabeleake mengatakan kehadiran hutan pengusahaan hutan alam seperti perusahaan itu sejak 1970-an telah membuat warga menderita. Warga terus menerus dilanda banjir. “Kebijakan seperti ini betul-betul tidak berpihak kepada masyarakat adat,” kata dia, Kamis, 14 September 2017.
Menurut dia, sebelumnya lahan tersebut merupakan hak ulayat suku-suku. "Namun setelah dikapling menjadi hutan produksi," kata Kortanius.
Baca : Masyarakat Mentawai Tolak Izin HTI di Siberut
Berkaitan dengan itu, sebenarnya Bupati Mentawai telah mengirimkan surat ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar izin untuk HTI itu kembali dibatalkan. Sebelumnya, perusahaan Biomass sempat mendapat izin dan dibatalkan sekali oleh kementerian karena tidak sanggup menyelesaikan dokumen AMDAL sesuai jangka waktunya.
"Tapi sekarang dilanjutkan lagi,hingga kini surat kami belum dibalas Menteri, dan pemerintah kabupaten betul-betul tidak berdaya dalam proses perizinan ini, karena tidak diberi ruang keterlibatan, meski lokasinya di daerah kami,” kata Kortanius. Dia pun mengaku sedang mendiskusikan langkah selanjutnya yang akan diambil pemda bersama Bupati Mentawai.
Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai Rifai Lubis bahkan menuding rencana HTI ini lebih banyak untuk mengincar kayu yang masih banyak tumbuh di bekas lahan HPH KAM Universitas Andalas yang ditinggalkan itu. Selain itu, menurut dia, persyaratan untuk HTI adalah dilakukan di lahan kritis dan tandus dengan menghutankan lahan, maka perusahaan bisa mengambil manfaat dari tanaman industri yang mereka tanam. Namun dia menilainya berbeda.
“Itu bukan menghutankan, tetapi membabat hutan yang ada,” kata Rifai. Selain itu, sebagai pulau muda, Siberut adalah pulau yang rapuh dan tidak ada batuan. Sehingga sedikit saja kerusakan lingkungan di Siberut akan merusak daur hidrologi.
Menurut dia, Bila kelestarian lingkungan di Siberut rusak, kelestarian budaya Mentawai juga akan rusak karena semua prosesi budaya terkait dengan hutan. Karena saling keterkaitan manusia dan hutannya, pada 1980 Pulau Siberut ditetapkan UNESCO sebagai kawasan cagar biosfer.
Ia mengingatkan Pulau Siberut yang luasnya 403.000 hektare juga memiliki kekayaan biodiversiti (keanekaragaman hayati) yang tak ternilai. Selain itu dampak eksplotasi hutan selama lebih 40 tahun di Siberut telah dirasakan masyarakat. "Masyarakat merasakan bencana banjir yang belum bisa ditangani pemerintah," kata Rifai.
FEBRIANTI