TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Andre Rosiade, mengatakan bahwa surat yang dikirim oleh pimpinan DPR RI kepada Komisi Pemberantasan Korupsi tidak bermaksud apa-apa. Dia menilai surat yang dikirimkan atas permintaan Setya Novanto itu sebagai surat biasa.
“Hanya surat pengantar saja untuk meneruskan surat Setya Novanto ke KPK,” ujarnya saat dihubungi Tempo pada Kamis, 14 September 2017.
Baca : Tiru Kasus BG, DPR Minta KPK Tunda Pemeriksaan Setya Novanto
Menurut Andre, langkah DPR tersebut adalah hal yang biasa dilakukan sebagai lembaga penampung aspirasi. Pimpinan DPR selalu menerima surat aspirasi dari masyarakat. “Fadli terima surat Setnov sebagai masyarakat, untuk memohon kepada Fadli membantu beliau agar pemeriksaan ditunda,” kata dia.
Selain itu, Andre menilai surat tersebut bukan sikap intervensi dan bukan juga atas nama lembaga DPR. “Surat biasa aja,” ujarnya.
Baca : DPR Terbelah Soal Warkat untuk Setya Novanto
Sebelumnya, pimpinan DPR mengirimkan surat kepada KPK pada Selasa, 12 September 2017. Surat tersebut berisi permintaan agar proses pemeriksaan terhadap Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi e-KRP ditunda sampai sidang praperadilan selesai. Sebelumnya ia tidak memenuhi pemanggilan KPK untuk diperiksa dalam perkara kasus e-KTP pada Senin lalu.
Surat tersebut diteken oleh Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Menurut Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini, surat tersebut sifatnya tidak mengikat. Ia juga membantah bila DPR dinilai mencoba menghalangi penegakan hukum dengan melayangkan surat tersebut. "Enggak ada (obstruction of justice), terserah pada proses aturan hukum yang ada di KPK. (Surat) Aspirasi masyarakat itu puluhan dan sifatnya biasa," kata dia.
Sedangkan, menurut Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Hendrawan Supratikno, surat tersebut harus dimaknai sebagai harapan dan bukan sebagai intervensi atau pemaksaan. “Memang kurang lazim karena mudah disalahtafsirkan,” ujarnya.
Hendrawan berharap KPK dan masyarakat bisa menyikapi secara proporsional dan tetap mengedapkan kepentingan penegakan hukum atas polemik surat Setya Novanto tersebut. Diminta menilai apakah langkah tersebut benar atau tidak, Hendrawan menuturkan hal itu tentu bisa menimbulkan pro dan kontra. “Tapi sebagai harapan, boleh-boleh saja. Harapan tokoh tidak harus dipenuhi. Risiko kelembagaannya tinggi,” ujarnya.
ANDITA RAHMA