TEMPO.CO, Jakarta - Anggota panitia khusus hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi, Arsul Sani, meminta semua pihak menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ia berharap MK tidak diteriaki antikorupsi bila putusan uji materi bertentangan dengan keinginan pemohon.
"Dari awal, kami sepakat hormati apa pun keputusannya," kata Arsul di MK, Rabu, 13 September 2017. Begitu juga dengan para pemohon uji materi, Arsul menuntut untuk konsekuen mematuhi putusan MK.
Baca: MK Tolak Permintaan Putusan Sela, Pansus Hak Angket KPK Tetap Jalan
Salah satunya dalam permohonan provisi (putusan sela) yang ditolak majelis. Politikus asal Partai Persatuan Pembangunan ini berharap pemohon menerima putusan provisi dari MK. "Jangan keluar dari sini diteriakin MK-nya tidak pro dengan antikorupsi karena menolak putusan provisi," ujar Arsul.
Sebelumnya, MK menolak permohonan provisi atau putusan sela. Provisi ini terkait dengan gugatan uji materi terhadap hak angket yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Provisi diajukan pemohon agar kerja pansus hak angket KPK dihentikan dan menunggu putusan MK. Dengan tidak adanya putusan sela, pansus hak angket KPK tetap bisa menjalankan tugasnya.
Baca: ICW Curigai Komposisi Majelis Hakim Konstitusi Pemutus Hak Angket
Hakim konstitusi Anwar Usman mengatakan proses pengambilan putusan permohonan provisi dilakukan dengan voting atau pemungutan suara. Voting dilakukan karena ada empat hakim yang menolak dan empat hakim mengabulkan. "Mufakat tidak tercapai meskipun telah dilakukan dengan sungguh-sungguh," kata Anwar dalam sidang uji materi UU MD3.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz, mempertanyakan permohonan provisi yang ditolak MK. Menurut dia, semestinya hakim konstitusi yang hadir dalam rapat permusyawaratan hakim jumlahnya ganjil, bukan genap. "Putusan provisi mengeliminasi empat hakim yang juga punya suara," ujar Donal. ICW merupakan salah satu pemohon dalam uji materi UU MD3 tentang hak angket.
ADITYA BUDIMAN