TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Indonesia Corruption Watch Donal Fariz mempertanyakan permohonan provisi (putusan sela) yang ditolak Mahkamah Konstitusi. Ia menilai mestinya jumlah hakim konstitusi yang hadir dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) ganjil bukan genap.
"Putusan provisi mengeliminir empat hakim yang juga punya suara," kata Donal di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu, 13 September 2017. Donal mengatakan mestinya RPH menunggu kedatangan Hakim Saldi Isra yang saat itu tengah menjalankan ibadah haji. Sebab, jumlah hakim menjadi ganjil, yaitu sembilan orang.
BACA: MK Tolak Permintaan Putusan Sela, Pansus Hak Angket
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan provisi dalam sidang uji materi hak angket Dewan Perwakilan Rakyat. Provisi diajukan oleh pemohon agar kerja Panitia KhususHak Angket
terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi dihentikan dan menunggu putusan Mahkamah Konstitusi.
Sidang pleno pembahasan permohonan provisi dihadiri oleh delapan hakim konstitusi. Dalam sidang itu tak tercapai kata mufakat. Walhasil, putusan pun dilakukan dengan cara voting. Ternyata hasil voting menunjukkan suara yang imbang.
Hakim Anwar Usman mengatakan berdasarkan Pasal 45 Ayat 8 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi bila tidak tercapai suara terbanyak maka suara terakhir, yaitu ketua sidang pleno yang menentukan. "Arief Hidayat (ketua sidang pleno) termasuk empat hakim konstitusi yang berpendapat menolak putusan provisi. Permohonan putusan provisi dinyatakan ditolak," kata Anwar.
Juru bicara MK Fajar Laksono menyatakan permohonan putusan provisi sesuai dengan keinginan pemohon. Menurut dia, pemohon berharap agar permohonan secepatnya diputuskan. "Ini respon agar putusan cepat," ucapnya.
Kendati demikian, dilihat dari sisi aturan putusan permohonan provisi sudah sah karena sesuai dengan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. "Kalau sudah sesuai ya jalan. Tidak ada tendensi apa pun," kata Fajar.
ADITYA BUDIMAN