TEMPO.CO, Jakarta - Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengecam kriminalisasi terhadap Heri Budiawan alias Budi Pego, aktivis penolak tambang emas Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur. Tindakan kriminalisasi itu dinilai semakin menunjukkan bahwa pemerintah mengabaikan kesejahteraan rakyat dalam pengelolaan sumber daya alam.
"Seharusnya pemerintah, baik di pusat maupun daerah, melihat masalah di Tumpang Pitu secara utuh,” kata Staf Pembelaan Hak Asasi Manusia Kontras, Rivanlee Anandar, dalam siaran pers, Kamis, 7 September 2017. Melihat masalah secara utuh akan menghindarkan masalah baru, seperti tindak kekerasan, kriminalisasi warga, serta kasus pembunuhan yang sering terjadi di berbagai konflik agraria.
Baca: Aktivis Penolak Tambang Ditahan dengan Jeratan Pasal...
Budi Pego ditahan Kejaksaan Negeri Banyuwangi pada Senin, 4 September 2017, dengan tuduhan penyebaran paham komunisme melalui spanduk kampanye antitambang.
Kepala Advokasi dan Kampanye WALHI Jawa Timur Muhammad Afandi melihat ada kejanggalan dalam perkara yang dituduhkan kepada Budi. Menurut dia, warga tidak pernah membuat spanduk berlogo palu arit seperti yang dituduhkan polisi. Ketika berdemonstrasi menolak tambang pada 4 April 2017, warga menerima sebuah spanduk yang diberikan sekelompok orang tak dikenal. Spanduk itulah yang memuat logo palu arit, tapi warga tidak menyadarinya. Ketika tuduhan menyebarkan komunisme itu muncul, spanduk yang dimaksud sudah tidak ada. "Polisi hanya menunjukkan foto-foto tanpa menunjukkan bukti fisik spanduk itu."
Tambang emas di Tumpang Pitu adalah milik PT Merdeka Copper Gold. Menurut JATAM, Kontras, dan WALHI, perusahaan ini milik pebisnis Edwin Soeryadjaja, Michael Soerjadjaja, Sandiaga Uno, Garibaldi Thohir, Winato Kartono, dan Hardi Wijaya Liong. Perusahaan yang mengelola penambangan adalah PT Damai Suksesindo, PT Bumi Suksesindo, dan PT Cinta Bumi Suksesindo.
Baca juga:
3 Permintaan Aktivis ke Jokowi untuk Tuntaskan Kasus...
Kartunis Bersama KPK Gelar Pameran 1.000 Karya Anti...
Kepala Kampanye JATAM Melky Nahar mengatakan Gunung Tumpang Pitu awalnya merupakan kawasan hutan lindung. Pada 2012, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menurunkan statusnya hingga pertambangan bebas masuk dan beroperasi di sana. Pada 2016, terjadi banjir lumpur di Pantai Pulau Merah, Banyuwangi, yang disinyalir akibat penambangan emas di Gunung Tumpang Pitu itu.
"Ini bentuk nyata negara mengistimewakan korporasi tambang serta mengabaikan keselamatan rakyat dan lingkungan," kata Melky. Semestinya, menurut dia, Gunung Tumpang Pitu dikembalikan fungsi dan statusnya sebagai hutan lindung dan bersih dari aktivitas pertambangan.
BUDIARTI UTAMI PUTRI