TEMPO.CO, YOGYAKARTA- – Peneliti Institute for Research and Empowerment (IRE) Arie Sudjito mengingatkan masyarakat desa untuk tak bersikap masa bodoh terhadap persoalan yang terjadi di desa.
Lantaran kelemahan partisipasi publik akan membuka peluang terjadinya korupsi dan penyelewengan di desa, termasuk pengelolaan dana desa..
“Masyarakat desa jangan cuek. Jadi intervensinya tinggi,” kata Arie dalam Sarasehan Resolusi Desa bertema “Memperkuat Demokrasi dan Keberlanjutan Desa” di Joglo Winasis IRE, Sleman, Selasa, 5 September 2017.
BACA: Gawat, Penyelewengan Dana Desa Makin Berjibun
IRE merumuskan beberapa resolusi untuk mencegah korupsi dana desa terjadi. Menyusul usulan pemerintah untuk membatalkan kenaikan dana desa dari Rp 60 triliun menjadi Rp 120 triliun pada 2018 mendatang setelah ada operasi tangkap tangan terhadap sejumlah pejabat oleh KPK untuk penghentian penyidikan kasus korupsi dana desa Kepala Desa Dassok Agus Mulyadi di Pamekasan. “Kalau ada korupsi dana desa, hentikan korupsinya. Bukan dana desanya,” kata Arie.
Sosiolog Pedesaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu menjelaskan, resolusi itu meliputi upaya memperkuat partisipasi publik, memperkuat sistem kontrol, serta meningkatkan akuntabilitas. “Resolusi desa untuk mengembalikan desa agar on the right track,” kata Arie.
BACA: Begini Formula Aturan Pembagian Dana Desa pada 2018
Cara yang dilakukan antara lain memperkuat demokrasi desa dengan mengaktivasi masyarakat desa dan kaum marginal, seperti perempuan dan difabel untuk ikut serta dalam menyusun kebijakan dan peraturan desa.
Kemudian memanfaatkan musyawarah perencanaan pembangunan, penyusunan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Desa, penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
“Jangan pernah orang-orang desa itu lelah belajar. Kepala desa dan perangkatnya jangan mikir sendirian. Nanti penuaan dini,” kata Arie sembari berseloroh.
Persoalan desa sebaiknya dibahas bersama dengan warganya. Caranya dengan membentuk komunitas atau sanggar di desa untuk wadah komunikasi tersebut. Arie pun menyesalkan kurangnya diskusi publik tentang keberhasilan desa. Namun saat desa satu kali tercoreng dengan kasus korupsi dana desa, kecurigaan atas ketidakmampuan desa mengelola dana desa dibesar-besarkan.
BACA: Kemenkeu Diminta Alokasikan Anggaran Pengawasan Dana Desa
Kepala Sub Bidang Perencanaan dan Pembangunan Partisipatif Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Bito Wikantosa mengingatkan pemberian dana desa dari APBN sebagai salah satu dari tujuh sumber dana desa bukan semata-mata karena desa membutuhkan. Melainkan pemberian dana desa adalah bentuk pengakuan negara terhadap desa.
“Dana desa itu recognisi (pengakuan). Karena desa mempunyai kewenangan mengelolanya. Dan negara membantu desa menjalankan kewenangan itu,” kata Bito.
Penggunaan dana desa pun tidak bersifat elitis yang terbatas pada kesepakatan antara kepada desa dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) saja. Melainkan yang paling paling fundamental adalah adanya keterlibatan masyarakat untuk mengambil keputusan.
“Ciri khas desa yang berhasil mengelola dana desa adalah kepela desanya mampu hadir sebagai fasilitator. Rakyatnya bergerak gotong royong,” kata Bito.
PITO AGUSTIN RUDIANA