Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Merenda Suka Cita Pendidikan Anak-anak Petani Kakao

image-gnews
Merenda Suka Cita Pendidikan Anak-anak Petani Kakao
Merenda Suka Cita Pendidikan Anak-anak Petani Kakao
Iklan

INFO NASIONAL - Saat harga kakao dan pinang anjlok, para orang tua di Blang Sukon masih menguratkan senyum di bibirnya. Kepedihan hidup menjadi gugur ketika melihat anak-anak mereka kembali ke sekolah. Merenda kepingan harapan untuk mewujudkan cita-cita dan lepas dari garis kemiskinan.

Menjelang senja, di bawah pohon pinang yang ada di halaman sekolah, matahari masih terlihat gagah. Di puncak musim kemarau yang ada di Aceh, sinarnya seperti memberikan pertanda musim panas yang panjang. Menyengat kulit. Pematang sawah pun terlihat kuning tanpa ada padi yang menjulang dengan penuh harapan.

Kawanan kerbau masih setia berdiri di pematang. Menghabiskan rumput kering yang tersisa, tanpa ada  kerja untuk membajak sawah. Sesekali suaranya terdengar riuh merambat masuk ke kelas-kelas yang ada di SDN Blang Sukon, Pidie Jaya, Aceh.

Sadikal Wakdi, 11, siswa kelas VI masih bertahan di sekolah. Di tengah terik yang bisa membakar kulitnya, ia berkali-kali datang ke kamar mandi hanya untuk sekedar membasuh mukanya untuk tetap dingin.  Jendela kelas barunya yang terdapat empat bagian coba dibuka untuk membiarkan angin merambat masuk ke dalam kelas.

Siang itu, ia memilih tak pulang ke rumah selepas pelajaran di sekolah selesai. Jadwal sekolah diniyah yang diadakan di sekolah tiap Rabu dan Kamis menjadi alasan utamanya. Selain itu ia juga merasa nyaman berada di sekolah, gemuruh kegembiraan itumuncul setelah sekolahnya sudah selesai dibangun.

Sejak Desember 2016 lalu sekolahnya ambruk setelah gempa bumi berkekuatan 6,5 Skala Richter menguncang Pidie Jaya. Harapannya untuk bisa mendapatkan pendidikan sempat runtuh bersama puing-puing bangunan sekolah. “Nggak masuk sekolah sampai dua bulan waktu itu,” kata Sadikal.

Menjelang sekolah diniyah dimulai, mereka melepas sepatunya. Mengambil air wudhu untuk segera melaksanakan Salat Zuhur. Shibral Malasyi dan Khaidir, teman sekelasnya mengikutinya dari belakang. Saling berebut untuk segera mengambil air wudhu di dekat kamar mandi yang sudah tertata rapi.

Selesai salat, mereka langsung bergegas kembali ke kelas. Membetulkan kemeja dan menata tas yang diletakan di meja. Membuka kembali buku-buku yang sudah kusam. Siang yang begitu temaram tak membuat serangan kantuk melanda. Lantai keramik yang dingin dan bersih membuatnya memilih untuk melepas sepatu. Sesekali kakinya berlarian usil untuk saling kejar dengan teman-temannya.

Baik Sadikal, Shibral dan Khaidir seperti anak-anak kebanyakan yang menghabiskan waktu kosongnya dengan bermain bersama. Mereka menjadikan sekolah tempat yang begitu menyenangkan. Seperti rumah kedua, sekolah menjadi jujukan untuk berteduh, dari rangkaian peluh anak-anak yang ada di lereng Blang Sukon.

Sadikal, siswa yang memiliki rambut lurus dengan badan tegap itu menceritakan kalau setiap akhir pekan selalu menghabiskan waktunya bersama kedua orang tuanya di ladang. Ia sering mendapatkan tugas untuk menjemur pinang maupun memilah kakao sebelum dibawa pulang. Mereka juga menyadari kalau penghasilan dari kebun kakao dan pinang yang membuat hidup mereka tetap bertahan.

“Bapak biasanya sampai sore kalau berada di ladang. Kalau ibu selepas Zuhur sudah pulang untuk menyiapkan makanan,” katanya.

Yusri Wahab, 45, serta Umi Shofah, 42, kedua orang tuanya ikut sedih ketika dulu melihat Sadikal tak mau datang ke sekolah setelah gempa terjadi. Berbagai cara dilakukan untuk membujuk anaknya kembali ke sekolah. Namun, trauma yang dialami anaknya begitu dalam.

Baik Wahab maupun Umi sendiri menaruh banyak harapan pada anak-anaknya untuk bisa bersekolah. Melalui pendidikan, mereka berdua percaya kalau perubahan nasib bisa dilakukan. Kemauan manusia untuk mengubah nasibnya menjadikan mereka lebih kuat. Mereka kini tak bisa mengandalkan hasil menanam kakao dan pinang.

Selama puluhan tahun mereka selalu mengandalkan keberhasilan menanam kakao dan pinang. Dan tiap tahunnya selalu terbersit harapan untuk bisa menabung buat anak-anaknya dalam melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi.

Pasutri yang tak lulus sekolah dasar (SD) itu memahami betapa pentingnya pendidikan sebagai jalan untuk mengubah garis kehidupan. “Kami rela untuk mengurangi membeli beras demi menabung buat sekolah anak nantinya,” jelasnya.

Keahlian untuk menanam kakao dan pinang yang sudah menjadi warisan leluhur kini tak memberikan jaminan kehidupan yang cukup. Tiap bulan mereka bisa membeli beras saja sudah lebih dari cukup. “Saat musim hujan panjang kami tak bisa panen. Lha, pas musim sedang bagus, harganya murah sekali,” keluhnya.

Sadikal pun diharapkan bisa mengubah ekonomi keluarga. Dengan tetap bersekolah, kedua orang tuanya berharap ia tak hanya menjadi petani kakao saja di kampung nantinya. Ia bisa menjadi apa saja yang bisa berguna dan berpenghasilan. Tak hanya terjebak dalam kebun kakao.

“Saya ingin jadi pilot. Kayak di televisi itu pakai baju putih dan topi hitam yang keren”, cletuk Sadikal.

Kepala Dinas Pendidikan Pidie Jaya Saiful menuturkan, merawat anak di sekolah itu sangat berbeda dengan memiliki tanaman yang disiram air setiap hari selalu bisa hidup. Anak-anak di sekolah memiliki karakter yang berbeda-beda. Makanya pengajaran bagi mereka yang pernah menjadi korban gempa bumi harus bisa intensif.

Masa-masa di tingkat SD, katanya, merupakan fase emas bagi seorang anak. Mereka harus bisa diarahkan untuk bisa meningkatkan kemampuan, tanggungjawab serta menanamkan budi pekerti yang akan berguna bagi mereka di masa mendatang.

“Pembelajaran harus lebih baik. Sarana perlahan sudah dibangun kembali dengan bagus. Mereka bisa ditunjang dengan ruangan yang baru dan bersih, ini akan mempercepat mereka dalam menerima pelajaran,” ujar Saiful.

Secara keseluruhan, lanjutnya, sekolah yang terdampak gempa bumi sudah menjalankan aktifitas dengan baik. Rekontruksi sekolah juga banyak dibantu pihak ketiga yang tentunya meringankan beban pemerintah.

Di Pidie Jaya sendiri ada sekitar 32 sekolah yang hancur karena gempa bumi. Dari jumlah itu sudah ada dua sekolah yang selesai dibangun, sisanya masih menunggu pengerjaan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang saat ini sudah melaksanakan proses tender.

“Penanganan trauma memang sudah dilakukan beberapa bulan terakhir. Saya kira sekarang mereka tinggal melaksanakan sekolah saja untuk mengejar ketertinggalan,” jelasnya.

Bangunan SDN Blang Sukon sendiri, katanya, sudah bisa memberikan ketenangan bagi anak-anak. Mereka  pun bisa mendapatkan ruang serba guna yang bisa berfungsi sebagai tempat pendidikan diniyah maupun kegiatan ektrakurikuler.

Di Aceh sendiri, katanya, memang terus dilakukan serapan tambahan belajar berupa pendidikan keagamaan. Makanya pendidikan diniyah bisa diterima oleh anak-anak di sekolah dengan baik. Kehadiran ruang serba guna sendiri memberikan harapan baru bagi siswa untuk mengembangkan bakatnya yang lain.

“Sebelumnya jarang ada bangunan ruang serba guna di tingkat SD. Ini menambah gairah kami untuk terus meningkatkan kemampuan anak di sekolah,” sambungnya.

Head Office Aksi Cepat Tanggap (ACT) Aceh Husaini Ismail menjelaskan, pendampingan yang dilakukan ACT  memang berjalan lebih cepat dari perkiraan awal. Anak-anak yang jadi korban gempa bumi bisa cepat kembali ke sekolah. Langkah itu memang dilakukan secara perlahan, sehingga mereka bisa yakin dan tetap mau menempuh pendidikan.

Untuk mendukung rencana itu, katanya, pihaknya memang berkolaborasi dengan PT HM Sampoerna untuk membangun sekolah yang ramah gempa. Dengan sarana fisik yang memadai dan menunjang belajar, pihaknya yakin bisa meningkatkan kualitas siswa di daerah sesar aktif gempa bumi di Aceh. “Ini salah satu langkah konkrit yang bisa dilakukan,” jelasnya.

Makanya, kata Ismail, bangunan di SDN Blang Sukon memang didesain ramah terhadap gempa. Sebelum dibangun pihaknya mengirim tim konstruksi untuk memastikan lahan serta tingkat kekuatan pondasi. Proses pembangunan juga lebih terencana dan detail di setiap bagian.

"Semua pondasi yang kami pakai ada besi besar dari bawah tanah sampai ke atas. Adanya besi itu menjadi kekuatan ketika gempa datang, seperti rumah-rumah di zaman dulu yang kuat terhadap goncangan," jelasnya.

Ia juga membeberkan kalau pengunaan semen juga berbeda dengan bangunan pada umumnya. Termasuk pemakaian baja ringan dari kontruksi bawah sampai dengan atap yang digunakan. Bahan khusus itu sengaja diberikan untuk menopang berbagai kemungkinan.

Pihaknya juga memikirkan bangunan sekolah tetap aman ketika siswa masih berada di dalamnya ketika gempa bumi datang. "Kita tak pakai genting. Semuanya baja ringan, jadi bisa memininalisir terjadinya korban ketika gempa datang," tegasnya.

Head of North Sumatra Zone PT HM Sampoerna Tbk Herminwi mengatakan, upaya gotong royong bisa dilakukan oleh semua pihak untuk mengembalikan semangat belajar siswa di sekolah. Pihaknya turut prihatin dan berduka atas musibah bencana gempa Aceh yang merusak banyak infrastruktur di dunia pendidikan. Pembangunan ruang kelas baru serta sarana pendukung lainnya diharapkan bisa menambah semangat belajar siswa.

“Kami berkomitmen untuk senantiasa memberikan kontribusi positif bagi masyarakat melalui program tanggung jawab sosial perusahaan. Kehadiran bangunan ruang kelas baru diharapkan bisa menambah kualitas pendidikan,” jelasnya.

Sampoerna sendiri, katanya, terus berupaya untuk memperluas lingkup bantuan bagimasyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Pihaknya juga selalu menjalin hubungan dengan berbagai pemangku kepentingan yang terdiri dari instansi pemerintah, yayasan mitra, akademisi, pelaku bisnis, dan masyarakat luas. Makanya Sampoerna berkolaborasi dengan lembaga kemanusiaan ACT untuk pembangunan lembaga pendidikan di Blang Sukon.

Kolaborasi dengan ACT sendiri sudah dilakukan sejak melakukan evakuasi, melayani korban dan pengungsi. Rekonstruksi bangunan sekolah baru diharapkan bisa meningkatkan semangat belajar-mengajar yang sebelumnya dilakukan di tenda darurat.

“Harapan kami kegiatan ini dapat menjadi rangkaian manajemen bencana untuk membuat solusi menyeluruh bagi masyarakat yang terkena dampak bencana,” ucapnya.

Bantuan yang diberikan oleh Sampoerna berupa pembangunan delapan ruang kelas, dua ruang guru, satu ruang belajar umum, satu ruang gedung serbaguna, perbaikan dua pintu MCK dan pembangunan pagar sekolah  sepanjang 200 meter.

Semua bantuan itu diharapkan bisa meringankan beban masyarakat. Sehingga anak-anak bisa melanjutkan sekolahnya lebih aman dan nyaman. Proses belajar mengajar harus terus dilanjutkan dengan kondisi bangunan yang layak. Anak-anak di Blang Sukon juga bisa kembali menjahit cita-citanya yang sempat terpendam setelah gempa terjadi.

SDN Blang Sukon merupakan salah satu infrastruktur publik yang mengalami kerusakan parah akibat guncangan gempa berkekuatan 6,5 Skala Richter. Keberadaan sekolah dasar tersebut merupakan salah satu bangunan penting di Desa Blang Sukon. Apalagi Desa Blang Sukon tersebut berada di zona sesar aktif yang rawan terhadap gempa bumi.

Kini, sebanyak 150 siswa dan 24 guru di sekolah tersebut bisa tersenyum lega. Mereka bisa kembali belajar di tempat yang layak. Sejak gempa terjadi Desember tahun lalu, tim SAR Sampoerna sudah melakukan aksi tanggap bencana dengan menyediakan bantuan kebutuhan dasar dan layanan kesehatan gratis di empat titik. Lokasi itu berada di kamp pengungsi Masjid Tuha, Masjid Ring, Ulim, dan Teungoh Musa.

Kepala Sekolah SDN Blang Sukon Ramli menjelaskan, upaya rekonstruksi yang dilakukan Sampoerna bersama ACT sangat cepat kalau terhitung sejak Mei lalu. Para siswa juga bisa belajar di ruang kelas yang layak. Mereka memiliki sirkulasi udara yang sehat dan memadai sekarang.

Kalau dulu, katanya, anak-anak sudah tak betah belajar ketika sudah memasuki pukul 10.00 WIB. Udara yang panas dan penggap menjadi salah satu alasan utama mereka tak konsentrasi dalam belajar di tenda darurat maupun rumah-rumah warga.

"Sekarang mereka malah suka berlama-lama di kelas. Bahkan Kami juga sekarang bisa punya aula. Tempat yang dulunya sangat diinginkan anak-anak," jelasnya.

Dengan adanya aula sekolah, katanya, maka pendidikan diniyah bisa terlaksana dengan baik. Kegiatan diniyah itu dilakukan tiap Rabu dan Kamis selepas sekolah. "Pengajarnya kami ambilkan dari pondok pesantren. Aula juga biasa kami pakai untuk latihan tari maupun kegiatan ekstra lainnya," sambungnya.

Bahkan, semangat para siswa untuk terus giat belajar bisa dilakukan di tempat yang layak setelah terjadi gempa beberapa bulan yang lalu. Bagi anak-anak, mereka sudah lelah dan masih ada bayang-bayang ketakutan ketika belajar di bangunan yang rapuh. Kondisi psikologis anak itu yang membuat guru harus ekstra dalam memberikan pelajaran.

"Kami harus bisa menenangkan siswa dulu. Baru pelajaran bisa diterima. Dengan bangunan yang aman, kami yakin pendidikan yang disampaikan diterima dengan baik. Hasil kegiatan belajar mengajar tahun ini bisa lebih baik lagi dengan dukungan sarana yang layak," katanya. (*)

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan

Merawat ''Mutiara'' Tersembunyi di Bukit Blang Sukon

5 September 2017

Merawat
Merawat ''Mutiara'' Tersembunyi di Bukit Blang Sukon

Merawat "Mutiara" Tersembunyi di Bukit Blang Sukon


Uni Eropa Gelar Pameran Pendidikan Tinggi  

4 Oktober 2013

Sejumlah pengunjung mengisi quisoner mengenai program TV edukasi Depdiknas pada Pameran Hari Buku Sedunia & Hari Buku Nasional 2009 di Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, Jumat(19/6). Foto:TEMPO/Dwianto Wibowo
Uni Eropa Gelar Pameran Pendidikan Tinggi  

Pertama kalinya akan digelar di Kota SUrabaya, Jawa Timur.